Lembayung senja begitu menawan di angkasa. Sama seperti seorang remaja yang kini tengah berjalan tanpa arah yang kini berhenti di jembatan gantung.
Pria dengan celana hitam dan kaos biru tua itu kini memandang sungai besar di bawahnya. Airnya cukup deras ditambah baru saja selesai turun hujan.
Noval memandang jauh garis sungai hingga ke ujung sana. Kepalanya masih mencerna apa yang sedang terjadi pada bundanya.
Tadi, sepulang sekolah Juna menceritakan semua yang anak itu lihat di dapur. Jelas bukan Kana dan Noval pelakunya. Itu pasti bunda yang lupa menyelesaikan kegiatannya di dapur. Tapi, mengapa bisa itu terjadi?
Citra bukanlah orang se-ceroboh itu.
Anehnya, Citra merasa seolah tidak melakukan hal tersebut. Perempuan itu bahkan terkejut sendiri melihat teflon kesayangannya menghitam dan tak bisa dipakai lagi. Ia juga masih tak percaya bahwa ia meninggalkan cucian laundry begitu saja.
"Padahal Bunda tadi nggak masak apa-apa loh. Bunda juga nggak nyuci. Kok bisa ya?"
"Terus Bunda dari mana? Kerja di luar?"
"Bunda ... Dari mana ya? Iya, dari luar kayak nya. Ya udah Bunda mandi dulu ya."
Sepertinya Citra sedang banyak pikiran hingga bersikap seperti itu. Noval jadi merasa bersalah. Kalau saja dirinya bisa membantu perekonomian keluarganya, pasti bunda tidak akan stres sendiri. Bunda pasti sangat kelelahan.
Langit jingga kini berubah menjadi lebih gelap. Temaramnya membuat Noval ingin lebih lama di sini. Tapi, ia urungkan niatnya agar bunda tidak khawatir menunggu kepulangan sang anak.
Noval berjalan menuju rumah, sesekali menyapa orang yang ia kenal saat berpapasan. Benar saja, di teras sudah ada Citra yang menunggu.
Saat Noval menyapa Citra, perempuan itu tidak memberi respon seperti biasanya. Sepertinya bunda sedang ingin sendiri, pikirnya.
Noval lantas masuk dan mengajak ke tiga adik ya berjamaah. Selesai salat, mereka lantas sibuk dengan kegiatan belajarnya sendiri-sendiri.
"Kana, mana botol minum mu? Biar sekalian Kakak isi." Tanya Noval seraya bangkit dari bangkunya.
Laki-laki yang masih dengan sarung itu lantas meraba meja belajarnya, mencari barang yang diminta sang kakak. Ia lantas menyerahkannya wadah minum itu pada Noval.
Noval lalu menuju dapur membawa dua botol kosong. Selesai mengisi keduanya, pria itu menuju ke kamar sang adik. Ia ingin melihat Juna, siapa tahu anak itu butuh bantuan untuk mengerjakan PR-nya.
"Bisa ngerjainnya?" Tanya Noval mengangetkan laki-laki termuda di dalam rumah.
"Bisa Kak. Ini kan PPKN, kalau matematika Juna pasti udah ke kamar Kak Noval, hehe." Balas Juna lantas diberi senyuman oleh Noval.
Setelah menutup pintu kamar Juna, Noval mencari keberadaan sang bunda. Ia melihat pintu depan masih terbuka. Noval lalu mendekat dan melihat ada Citra di teras.
Perempuan itu masih berdiri di tempat tadi sore Noval lihat. Tidak bergeser sedikitpun. Merasa khawatir, Noval lantas mendekat.
"Bunda ..." Lirih Noval seraya memegang pundak Citra. Perempuan itu menoleh dan tersenyum ke arahnya.
"Bunda ngapain masih di sini? Ayo masuk, di sini dingin." Tutur Noval lalu merangkul Citra. Perempuan itu lantas berjalan, membiarkan putranya menuntunnya masuk ke kamar.
Noval bertemu Kana di dapur, laki-laki itu sudah membawa dua botol yang tadi Noval isi.
"Hehe kamu pasti nunggu ya tadi. Maaf, Kakak tadi nganter bunda dulu ke kamar."
"Bunda kenapa, Kak? Sakit?" Tanya Kana khawatir.
"Enggak kok. Bunda gapapa, paling cuma kecapean aja. Sekarang Kakak mau masak dulu buat kalian. Kamu masuk aja gih, nanti Kakak panggil kalau udah siap." Tutur Noval lantas dibalas anggukan eh sang adik.
Ketiganya kini tengah menikmati masakan yang Noval buat. Tadi Noval juga sudah mengantar makanan ke kamar Citra, perempuan itu ingin makan sendiri.
Noval tersenyum tipis melihat kedua adiknya yang makan dengan lahap. Dua anak yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, sama seperti dirinya. Tapi, jika dilihat Noval masih lebih beruntung dibanding mereka. Noval masih bisa merasakan kasih sayang dari Bima walau hanya sebentar. Dia juga masih bisa mengingat hangat sang ayah walau hanya samar-samar.
Tidak seperti Kana yang ditinggal sang ayah saat masih belum bisa mengingat apa-apa. Apalagi Juna, yang seumur hidupnya belum pernah di sentuh oleh Bima.
Di sisi lain Citra masih belum menyentuh sedikitpun makanan di piring. Ia hanya duduk seraya menatap kosong dinding di depannya.
Kini Citra berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai dan duduk di kusen jendela. Matanya memandang ke arah luar.
Kepalanya kini mulai mengingat-ingat apa saja yang sudah ia lakukan seharian ini. Dari semua itu ia masih belum bisa mengingat bahwa dirinya melakukan aktivitas di dapur. Ia seratus persen yakin bahwa tidak memasak apapun seharian ini.
Tok
Tok
Tok
Suara ketukan pintu membuat lamunan Citra bubar. Perempuan itu lantas mempersilakan seseorang itu untuk masuk. Pintu lalu terbuka, menampilkan Noval dengan segelas teh manis hangat.
"Ini diminum dulu, Bun." Ucap Noval seraya menyerahkan secangkir minuman.
Citra tersenyum lantas menerima teh itu. Ia menyesap perlahan lalu berdiri membawa Noval untuk duduk di tepi ranjang.
"Makasih ya, Noval." Ucap Citra lalu mengusap lembut puncak kepala sulungnya.
"Bunda baik-baik aja kan? Bunda bisa cerita sama Noval kalau ada masalah, Noval akan bantu semampu Noval."
Citra tersenyum lembut memandang anak di depannya. Anak yang semakin dewasa semakin mirip dengan mendiang suaminya. Anak yang tanpa sadar selalu bisa membuat dirinya bertahan.
"Bunda gapapa kok." Balas Citra.
"Bunda, jangan menyimpan semua sendirian ya. Noval punya dua telinga yang lebih dari cukup untuk bisa mendengar segala keluh Bunda. Noval juga sudah cukup dewasa untuk dijadikan sandaran, jadi tolong jangan melakukan semuanya sendiri."
"Kedua telingamu sudah kamu gunakan untuk mendengar semua keluh di rumah ini sampai kamu tidak sempat mendengar keluh mu sendiri. Kamu memang punya bahu, tapi keduanya sudah dipakai untuk sandaran adik-adikmu. Lalu kamu meminta bunda untuk bersandar juga. Di mana? Dada?"
Noval praktis terdiam mendengar semua kalimat bundanya. Iris Citra memandang teduh sepasang mata Noval penuh kasih.
"Tempat di mana kamu menyimpan semua sesak itu sendiri. Tempat di mana kamu menahan segala suara yang ingin kamu teriakkan. Apa Bunda tega bersandar di sana?"
"Bunda tahu, kamu jauh lebih butuh sandaran itu. Tapi, justru kamu yang selalu memberikan tempat itu untuk kita beristirahat."
"Maaf, karena Bunda belum bisa menjadi tempat kamu bersandar sepenuhnya. Bunda bangga punya anak seperti kamu, Noval." Final Citra lantas mengecup kening hangat sulungnya.
Noval masih terdiam meski dalam dirinya sedang sekuat tenaga menahan agar bulir-bulir bening itu tidak jatuh di hadapan sang bunda. Citra lalu mendekap pelan tubuh putranya, ia usap pelan punggung itu.
Dalam hati ia berkata, "Terima kasih karena sudah ada. Ayahmu pasti juga sangat bangga. Kuat selalu anakku."
_______________
_______________
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakara Bunda | norenmin [END]
FanficMohon untuk tetap tinggalkan VOTE dan KOMENTAR walaupun sudah end. [⚠️Alur sedikit cepat dan belum direvisi. Harap maklum jika masih berantakan.] ~•~•~•~•~•~ Kesedihan itu sementara, pun dengan kebahagiaan yang akan pudar jika habis masanya. Bunda a...