"Kini kutahu rasanya hancur
Rasanya ada lubang di dada
Demi awan yang selalu bersama langit
Aku merindukanmu."
Satu minggu sudah setelah kecelakaan itu terjadi. Adegan hari itu bagaikan vivid dalam hidup Akashi selama satu minggu ini, atau bahkan mungkin hingga hari-hari ke depannya.
Ada bukti kalau [Name] memang berada di dalam mobil itu, yaitu tas pemberian Akashi sebagai hadiah bersama gaun untuk malam hari itu. Ia mengenal dengan baik tas tersebut karena Akashi memilih sendiri secara langsung dan hati-hati untuk tunangannya itu. Selebihnya, tak ada jejak berarti termasuk jasad [Name]. Mobil yang meledak dan terbakar tersebut melahap habis penumpangnya tanpa sisa. Hanya kumpulan kerangka yang menghitam, bercampur baur dan berserakan dengan kerangka mobil.
Karena terlalu hebat ledakan tersebut hingga tulang-tulang itu sulit untuk diidentifikasi. Namun melihat dari CCTV rumah Akashi, memang benar kalau [Name] masuk ke mobil tersebut.
Akashi bahkan menyimpan rekaman CCTV tersebut, dan memutarnya berkali-kali di laptopnya. Melihat lagi dan lagi hal terakhir yang menampilkan sosok [Name]. Lebih menyayat hati pria itu adalah [Name] yang mengenakan gaun pemberian Akashi, berdandan dengan cantik, untuk acara makan malam mereka. Setiap kali Akashi memutar rekaman CCTV tersebut, pria itu selalu gagal menahan air mata.
Rasa sakit yang ia alami kali ini, melebihi rasa sakit ketika ia kehilangan dang ibunda dahulu. Mungkin karena Akashi mengalami kehilangan secara mendadak, tanpa melihat terakhir kali sosok [Name].
Semua orang telah menghiburnya, teman-temannya, ayahnya, hingga para pelayan yang juga berduka karena kehilangan majikan yang luar biasa baik bagi mereka.
Shintarou bahkan berkali-kali datang, bahkan sampai menginap di rumah Akashi untuk memastikan keadaan temannya itu. Tak pernah Shintarou melihat Akashi sejatuh ini dalma hidupnya. Shintarou bisa melihat bagaimana Akashi seperti kehilangan keinginan untuk hidup. Karena itulah Shintarou mengkhawatirkannya. Terlebih Akashi sepertinya selalu mengalami mimpi buruk, terbangun dari tidurnya di tengah malam dengan memanggil [Name]. Bahkan pernah Shintarou dapati saat tengah malam Akashi terbangun dari mimpinya dan mencari [Name] ke seluruh rumah.
Akashi masih belum bisa menerima dan percaya kalau Midorima [Name] telah tiada.
"Mau kemana?" tanya Shintarou saat Akashi bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke arah jalan menuju kamar tamu bagian belakang.
"Jalan-jalan sebentar," jawab Akashi dengan senyum kecil.
Shintarou tahu kalau Akashi berbohong. Ia tahu kemana Akashi akan pergi. Lorong kecil menuju bagian belakang rumah, tempat dimana kamar-kamar tamu berada. Dan salah satu kamar tersebut merupakan studio kecil [Name] saat melukis, kamar yang pernah gadis itu tempati saat pertama kali masuk ke rumah ini.
Dan memang benar, ke sanalah Akashi pergi. Seakan mencari sosok tunangannya itu di sana. Padahal setiap kali ia memasuki ruangan itu, harapannya selalu hancur karena tak ada siapa pun terutama [Name]. Hanya lukisan-lukisan sang gadis yang memenuhi ruangan, peralatan melukisnya, dan juga buku-buku sketsa yang ada di beberapa tempat.
Akashi mengambil satu buku sketsa lama, yang telah Akashi lihat ketika [Name] masih hidup sebulan lalu. Menemukan hal yang membuat Akashi mencintai sang gadis di luar ikatan pertunangan dan keinginannya membahagiakan [Name].
Buku sketsa yang berisi gambar-gambar satu orang dengan berbagai ekspresi, berbagai angle, dan pose. Buku yang gadis itu gambar saat SMP. Buku dimana karakter utama gambarnya adalah Akashi Seijurou. Berkat buku itu ia tahu kalau [Name] telah menaruh hati pada Akashi sejak lama sekali.
Namun bukan itu yang membuat Akashi selalu tak bisa menahan tangisnya ketika memasuki ruangan ini. Melainkan satu kanvas besar, yang menjadi lukisan terakhir [Name]. Hadiah untuk Akashi dari [Name].
Lukisan Akashi yang tersenyum alami, dengan catatan kecil di bawah sebelum tanda tangan gadis itu.
Aku mencintaimu.
Dua kata tersebut selalu berhasil menghancurkan Akashi sehancur-hancurnya. Dua kata yang tidak akan pernah ia dengar lagi selamanya. Hanya goresan pena pada kanvas yang bisa ia rasakan dalam sentuhan jari-jemarinya.
Gadis yang seharusnya menjadi istrinya tak lama itu, justru pergi meninggalkan hal yang membuat Akashi semakin tidak rela untuk mengikhlaskan kepergiannya. Rasa kehilangan yang [Name] berikan untuk Akashi terlalu besar untuk pria itu tampung. Hingga bagi Akashi kepergian [Name] adalah hukuman untuk pria itu atas sikap kasarnya dulu.
Akashi telah kehilangan cintanya, dan saat itu pula ia tidak pernah melihat cinta yang lain. Hanya menikmati setiap jengkal hidupnya dalam kesendirian bersama dengan bayangan gadis bernama [Name].
Di sisi lain, di luar rumah Akashi. Tampak sebuah mobil hitam dengan kaca hitam yang tak tembus dari luar terparkir sejak sepuluh menit lalu.
"Kau yakin dengan keputusanmu?" tanya wanita paruh baya pada orang yang duduk di sampingnya.
"Aku yakin. Bukankah aku sudah berencana pergi dan ikut denganmu sejak lama. Beruntung ada kecelekaan itu walau tanpa direncakan, dengan begitu semua akan lebih mudah," jawab orang tersebut yang sejak tadi menatap ke luar, ke rumah besar di depannya.
"Dari matamu sekarang aku tahu kalau kau tidak ingin pergi, [Name]-chan," kata wanita paruh baya itu lagi, terdengar lembut.
"Aku harus pergi, dengan begitu semua orang bisa mendapatkan hidup baru yang lebih baik. Lagi pula, yang di sini tidak akan pernah sembuh. Mungkin akan berkurang jika aku tidak lagi berhubungan dengan Jepang dan orang-orangnya," jawab [Name] yang tersenyum lirih saat menunjuk kepalanya. Memberitahu secara tidak langsung tentang kegilaannya yang masih terus menghantui sang gadis tanpa orang lain tahu, khususnya tunangannya—Akashi.
[Name] yang telah dikira meninggal dalam kecelakaan kemarin, justru masih bernapas karena keberuntungan saat ia minta diturunkan di klinik tempat psikiater [Name] berada. Gadis itu menemui seseorang yang telah lama ia tunggu, seseorang yang akan membawa [Name] jauh tanpa ada yang tahu.
Ya, [Name] sudah merencakan untuk pergi meninggalkan Jepang selamanya sejak hubungannya dengan Akashi masih memburuk. Meminta tolong pada salah satu anggota keluarga yang nyaris dilupakan semua orang, bibinya—Midorima Ayako.
Gadis itu telah memilih jalannya. Setidaknya inilah satu-satunya jalan jika ia ingin tetap bertahan hidup, dengan cara meninggalkan semuanya di belakang dan tidak pernah menengok lagi walau hanya sekali.
[Name] hanya sedikit berat untuk meninggalkan Akashi dengan cara seperti ini, terutama setelah tunangannya itu telah berubah dan mencintai [Name]. Namun gadis itu tak ingin orang yang ia cintai terjebak dalam masalah dan kegilaan [Name] yang masih terus menghantui gadis itu setiap saat, setiap malam, bahkan rasanya setiap kali gadis itu bernapas.
"Kita pergi," pinta [Name] yang telah meneguhkan hatinya untuk meninggalkan tanah kelahirannya.
Mobil hitam itu melaju, meninggalkan rumah besar yang pernah gadis itu tempati. Orang mungkin akan menyebutnya bodoh karena mencampakan Akashi yang telah mencintai [Name] sepenuh hati. Namun bagi [Name] dengan sejuta traumanya, pergi adalah satu-satunya jalan terbaik agar Akashi bisa menemukan kebahagian baru.
Suatu hari pria berambut merah itu akan menemukan perempuan normal yang pantas mendampinginya sebagai Nyonya Akashi. Saat itu tiba, [Name] akan berdoa agar semua kebaikan dan kebahagian Akashi dapatkan dan melupakan sosok bernama Midorima [Name].
Note!
Malam semua ヽ(´▽`)/
Dengan ini saya nyatakan ceritanya SELESAI (ノ゚▽゚)ノ
Gimana gimana endingnya. Menurutku klise sih atau standar ya kan ╮(╯▽╰)╭
Yang minta angst mana ini ending buat kalian...
Jadi kasian sama Akashi (´△`)
Tapi belum sepenuhnya selesai ya, ada EKSTRA PART untuk selanjutnya. Bisa dibilang alternative ending
Jadi untuk sekarang, kabur ah. Sebelum di demo massa
Baybay ( • ̀ω•́ )✧
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Kill Me (Akashi Seijurou x Reader)
Fanfiction"....Kalau begitu matilah. Dengan begitu aku akan berhenti membencimu," ucap Akashi tanpa beban, seakan yang ia katakan memang tidak ada artinya. Namun untuk [Name] satu kalimat itu membuat jantungnya seakan berhenti berdetak, napasnya tercekat. Ia...