"Senyum itu tak lagi ada
Mata itu tak lagi berbinar
Setiap kali aku melihatmu
Aku selalu bertanya,
Apakah semua itu salahku?"
Ayah Akashi terpaksa pergi dikarenakan ada urusan yang harus diselesaikan di perusahaan. Sebelum pria paruh baya itu pergi, Beliau mengancam Akashi untuk tidak melakukan hal yang bisa membuat gadis itu kembali kalut. Ayah Akashi juga tidak lupa mengatakan bahwa ia tetap akan membawa [Name] pindah ke rumah besar dimana ayah Akashi tinggal, setelah urusan Beliau selesai.
Akashi duduk di sofa ruang tengah. Pikirannya luar biasa kacau. Segala emosi yang belum pernah ia rasakan kini bergumul menjadi satu menghantam dirinya. Entah sudah berapa kali pria itu menghela napas, berusaha menenangkan pikiran dari segala kekacauan ini. Ia bahkan menyesali ucapan kasarnya yang ia lontarkan beberapa waktu lalu kepada sang ayah, merasa bodoh karena termakan emosi dan cemburu.
Kali ini ia berjalan menuju kamar [Name], memastikan kalau gadis itu sudah siuman atau belum. Terkadang setelah melakukan hal kasar pada tuangannya itu, Akashi selalu tersebit perasaan menyesal. Terkadang memertanyakan diri sendiri apakah sikapnya selama ini benar terhadap [Name].
Mata scarlet Akashi melebar ketika ia membuka pintu dan dilihatnya [Name] tengah duduk di ranjang.
"[Name]?" panggil Akashi dengan nada lembut, tak ingin sampai gadis itu kembali kalut karena nada tinggi Akashi.
Gadis itu bergeming ketika Akashi memanggil namanya. Wajahnya yang sebagian tertutup rambut, membuat Akashi tidak bisa menduga bagaimana kondisi [Name].
"[Name]? Bagaimana kondisimu?" tanya Akashi kembali ketika ia sudah berada di samping tempat tidur, berusaha membujuk tunangannya untuk bicara.
[Name] perlahan mengangkat kepala. Helaian rambut yang menutupi sebagaian wajahnya sedikit demi sedikit tersibak. Hingga akhirnya wajah gadis itu terlihat dan membuat seorang Akashi Seijurou terkejut setengah mati.
Jantung Akashi seakan berhenti beberapa saat, napasnya tercekat ketika ia melihat wajah gadis itu. Pucat, layu, dengan padangan mata setengah kosong. Wajah cantik nan ayu [Name] kini terlihat seperti bunga yang telah kehilangan keindahannya, begitu miris untuk dilihat.
Akashi tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Setelah apa yang ia lakukan, setelah kekasaran yang ia berikan kepada tunangannya itu, rasanya akan tidak masuk akal jika ia bersikap baik sekarang. Seolah Akashi bersikap baik kepada [Name] karena perasaan kasihan yang melihat keadaan kacau gadis itu.
Akashi bimbang.
"Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu," kata Akashi akhirnya seraya meninggalkan ruangan.
Di balik pintu, Akashi meremas rambutnya sendiri saat ia merasa seperti pengecut yang sedang melarikan diri. Entah karena harga dirinya yang tinggi atau karena ketidakberanian dirinya menghadapi [Name] setelah apa yang ia lakukan. Hanya saja kali ini ia mengakui sendiri.
"Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapimu sekarang, [Name]. Wajah itu, mata itu, apakah semua itu benar-benar salahku?" gumamnya, yang kembai tenggelam dalam kebingungan. Perasaan bersalah mulai merayapi pria itu setelah memahami ucapan ayahnya.
Setengah jam dari itu, dokter pribadi keluarga Akashi datang untuk memeriksa [Name].
Pemeriksaan yang dilakukan cukup membuat Akashi yang juga berada di ruangan itu sedikit cemas. Bagaimana tidak, karena beberapa kali sang dokter melirik ke arah Akashi seolah ingin bertanya atau mengonfirmasi sesuatu.
Sang dokter beberapa kali mengajak [Name] bicara, tapi gadis itu hanya diam. Gadis itu sudah seperti boneka lusuh yang ditaruh di atas tempat tidur, tak ada respon apa pun. Hingga sang dokter yang sepertinya seusia ayah Akashi itu selesai melakukan pemeriksaan, namun air muka yang ditampilkan tidaklah bagus. Beliau mengajak Akashi untuk bicara di luar ruangan, seolah dokter tersebut tidak ingin [Name] mendengar apa yang akan dibicarakan.
"Sudah berapa lama dia seperti itu, Akashi-san?" tanya sang dokter tepat begitu berada di luar ruangan.
"Maksud Anda?" Akashi bertanya balik, tidak mengerti sepenuhnya pertanyaan si dokter barusan.
"Saya menemukan banyak bekas luka ditubuhnya, ada luka baru tapi juga banyak bekas luka lama. Kau bilang kalau dia beberapa kali mendadak kalut, apakah sebelum dia kalut ada pertengkaran atau sesuatu yang terjadi yang bisa menimbulkan emosi [Name]-san?" sang dokter memerjelas arah pertanyaannya.
"Ya, kurasa aku bersikap sedikit kasar padanya sebelum dia menjadi kalut. Dan soal bekas luka, aku tidak tahu sama sekali, Sensei," jawab Akashi salah tingkah, merasa canggung ketika tahu kalau kekalutan yang gadis itu alami memang karena salah Akashi.
"Dilihat dari kondisinya, [Name]-san sepertinya memiliki trauma karena kekerasan. Terlebih lagi [Name]-san mengalami depresi, bisa jadi karena kekerasan yang ia dapatkan. Bisa juga karena kondisi sekitarnya yang menekan dirinya. Apakah [Name]-san meminum obat tertentu?" sang dokter kembali bertanya.
"Aku pernah ia meminum obat saat dia kalut belum lama ini. Dan dari yang kulihat kalau itu memang seperti obat penenang," jawab Akashi.
"Sepertinya [Name]-san sudah mendapatkan penanganan psikiater. Tapi dari yang kulihat, keadaan [Name]-san saat ini benar-benar tidak bagus. Sebaiknya Anda ajak dia untuk menemui psikiaternya. Karena jika seseorang yang memiliki depresi seperti ini tidak segera ditangani, maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada orang tersebut. Sebisa mungkin juga untuk Anda merawatnya dengan baik, jangan tinggikan nada suara Anda apalagi sampai bersikap kasar dan menekannya. Orang yang memiliki tekanan pada mentalnya, sangat membutuhkan perhatian dari orang terdekatnya," jelas sang dokter yang memang bukan spesialis dalam kondisi [Name] sekarang.
"Baik, Sensei," jawab Akashi dengan nada pelan.
Setelah mengantar dokter pulang, saat itu juga Akashi seperti melepaskan pertahanannya.
Ia duduk di sofa ruang tengah, menopang dagu dengan kedua tangan bertumpu pada paha. Selama dokter menjelaskan keadaan [Name], pria itu berusaha keras bersikap tenang. Namun ketenangannya pecah begitu saja sekarang, ia tidak pernah menduga akan mendengar hal seperti ini.
[Name] depresi? Trauma? Kekerasan?
Tiga hal tersebut berputar di kepala Akashi. Pria itu benar-benar terkejut luar biasa, tidak pernah menduga kalau [Name] mengalami hal seperti itu. Akashi tahu kalau gadis itu minum obat penenang dan artinya ada sedikit masalah dengan mental atau pikirannya. Tapi jujur saja ia tidak pernah menyangka kalau gadis itu akan mengalami depresi yang akut dan juga trauma kekerasan.
"Apakah Shintarou tahu tentang masalah adiknya ini?" gumam Akashi bertanya-tanya, sekiranya apakah ada yang tahu tentang kondisi [Name], dan dimana gadis itu mendapatkan semua luka mental dan fisik tersebut. Keluarganya kah?
Kamisama, apa yang harus kulakukan?
To be continue....
Note!
Malam minna-san ヽ(´▽`)/
Lama gx update saya ya kayaknya.
Berhubung kerjaan saya lagi padet saya minta maaf karena update sekarang lama. (╥_╥)Tapi sebisa mungkin saya tetep lanjut nulis kok...
Semoga kalian masih stay di laman saya, untuk yang nungguin up makasih ya...
Sampai jumpa chapter selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Kill Me (Akashi Seijurou x Reader)
Fanfiction"....Kalau begitu matilah. Dengan begitu aku akan berhenti membencimu," ucap Akashi tanpa beban, seakan yang ia katakan memang tidak ada artinya. Namun untuk [Name] satu kalimat itu membuat jantungnya seakan berhenti berdetak, napasnya tercekat. Ia...