"Tak ada yang lebih menyakitiku
Dibandingkan ucapanmu
Tak ada yang lebi menghinaku
Dibandingkan kebencianmu
Aku mulai hancur."
Selama dua hari [Name] sibuk mengemasi barang-barang dari rumahnya. Berbagai palet, kanvas, kuas, cat, dan barang melukis lainnya, kini telah memenuhi kamar gadis itu.
Ada sedikit kesenangan dalam diri gadis itu ketika ia melihat barang-barang kesayangannya itu. Pekerjaan tercintanya, satu-satunya hal yang diizinkan oleh kakeknya untuk gadis itu dalami.
Saat ini [Name] berstatus sebagai mahasiswi jurusan seni di Universitas Tokyo. Gadis itu cukup berbakat dalam bidang tersebut sejak ia muda. Telah banyak penghargaan baik dalam maupun luar negeri yang telah gadis itu kantongi di bidang lukis. Bahkan salah satu lukisannya kini terpasang di museum seni tokyo. Beberapa lukisan gadis itu pun telah banyak terjual hingga ke luar negeri dengan harga jutaan dollar.
Gadis yang mendapat julukan Monet Jepang tersebut, adalah jenius di masanya. Walau pun kejeniusan dan kesohoran namanya, tidak juga merubah pandangan keluarganya terhadapnya.
"[Name]-sama, sudah waktunya makan malam," kata pelayan tua yang kini [Name] tahu namanya adalah Fukusawa, mengetuk dengan sopan pintu kamar [Name] yang tertutup.
"Baik, terima kasih," sahut gadis itu dari dalam.
Buru-buru [Name] merapikan dirinya, mengganti pakaian dengan yang lebih bersih dan santai.
Ini adalah hari ke tiga [Name] berada di kediaman Akashi, dan ini pertama kalinya ia akan makan malam dengan tunangannya itu. Tentu gadis itu sedikit berharap kalau ia dan Akashi akan sedikit membuka pembicaraan walau sedikit.
Begitu [Name] sampai di ruang makan, ia terkejut karena rupanya Akashi sudah berada di sana lebih dulu. Cepat-cepat gadis itu duduk di salah satu kursi kosong tak jauh dari tempat Akashi berada.
TRANG!
Suara garpu dan pisau terdengar nyaring di ruangan ketika Akashi menaruhnya dengan kasar di atas piring miliknya.
"Bawa makananku ke kamar," perintah Akashi seraya melenggang pergi meninggalkan meja makan begitu saja.
[Name] benar-benar tersentak dengan sikap Akashi yang tiba-tiba. Mengatakan dengan jelas lewat gestur tubuhnya kalau ia tidak senang berada satu meja dengan [Name], atau bahkan satu ruangan.
Pelayan Fukuzawa gelagapan, bingung harus berbuat apa saat mendapati tuan mudanya bersikap kasar pada [Name].
"Seijurou-sama mungkin sedang sibuk, karena itu dia tidak bisa makan malam dengan Anda. Saya harap Anda tidak marah, dan tetap menikmati makanan Anda, [Name]-sama," hibur Fukuzawa agar gadis itu tetap tenang.
"Aku mengerti. Jika diizinkan aku akan melanjutkan makan malamku," kata [Name] dengan senyum lembut yang justru membuat Fukuzawa memasang wajah sedih.
"Tentu saja, Anda boleh meminta makanan apa pun yang Anda suka kepada kepala koki rumah ini," sahut Fukuzawa berusaha untuk tetap terlihat profesional dan tenang, ia tidak ingin sampai Nona Muda di depannya ini bersedih hati karena lagi-lagi mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari sang empunya rumah.
Hari ini adalah hari pertama dan juga terakhir [Name] makan di ruang makan. Tidak pernah lagi ia makan di ruangan tersebut, justru meminta pelayan membawakan makanan ke kamarnya setiap kali jam makan tiba. Atau jika ingin, gadis itu langsung datang ke dapur dan membuat makanannya sendiri. Toh, gadis itu tidak akan makan banyak.
Hari-hari [Name] jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan yang ia kira. Jika ia tidak ada kegiatan di kampusnya, ia menghabiskan waktu di rumah. Para pelayan menjadi kawannya, seolah gadis itu adalah bagian dari mereka. Tak terlihat kalau [Name] merupakan orang dari kalangan atas. Dan para pelayan pun sangat senang dengan kehadiran [Name].
"Sepertinya saya harus mengucapkan terima kasih pada Anda, [Name]-sama," kata Fukuzawa tanpa mengurangi rasa hormatnya pada gadis itu.
"Terima kasih untuk apa? Sepertinya aku tidak melakukan apa pun," tanya [Name] bingung.
"Para pelayan terlihat senang akhir-akhir ini. Sejak kedatangan Anda ke rumah ini, keadaan rumah jadi jauh lebih ceria. Para pelayan jadi lebih banyak tertawa dan bersemangat dengan pekerjaannya," jelas Fukuzawa.
"Aku tidak melakukan apa pun," [Name] masih bingung, kenapa ia harus mendapatkan ucapan terima kasih karena keadaan berubah.
"Tentu saja. Para pelayan biasanya selalu berhati-hati dan takut terutama di sekitaran Akashi-sama. Kehadiran Anda di rumah ini ibarat kucing di tengah kediaman singa yang di takuti, karena itu para pelayan yang biasanya takut sekarang justru lebih santai karena ada Anda," ujar Fukuzawa penuh kebanggaan.
"Benarkah? Jika aku membantu yang lain aku bersyukur. Aku juga berterima kasih pada kalian yang masih mau melayaniku dengan baik walau pemilik rumah tidak terlalu suka dengan kehadiranku di rumahnya," kata [Name] tulus. Ia juga menikmati waktunya dengan para pelayan di jam-jam senggangnya.
"Ah, paket yang Anda pesan sudah datang tadi. Saya sudah menaruhnya di atas meja kamar Anda," beritahu Fukuzawa.
"Baik, terima kasih, Fukuzawa-san. Kalau begitu aku akan kembali ke kamar, selamat malam," ucap [Name] seraya melenggang pergi menuju kamarnya.
Fukuzawa hanya menatap punggung [Name] yang semakin menjauh. Tidak pernah ia bertemu dengan orang yang begitu baik, sabar dan lembut seperti [Name] sebelumnya. Seolah [Name] adalah sosok yang keluar dari cerita dongeng. Pria tua itu tahu bahwa pundak kecil [Name] terlalu banyak menanggung beban berat. Namun yang membuat Fukuzawa tidak bisa berhenti mengawasi Nona Muda-nya itu adalah gadis itu masih bisa tersenyum di saat paling menyakitkan sekali pun.
"Saya hanya berharap bahwa Anda menemukan kebahagiaan Anda, [Name]-sama," doa Fukuzawa dengan nada begitu pelan. Tak habis pikir bahwa Akashi bisa memperlakukan gadis baik hati itu dengan kasar.
To be continue....
Note!!!
Gimana ceritanya? Pendek? Emang sengaja, ibarat cuma satu adegan aja dalam satu chapter ( ̄∀ ̄)
Menurut kalian kayak mana jalan ceritanya? Bagus? Nggak?
Kasih masukan dan komen kalian tentang ceritanya supaya aku harus up atau nggakByeee (*'▽`)ノノ
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Kill Me (Akashi Seijurou x Reader)
Fanfiction"....Kalau begitu matilah. Dengan begitu aku akan berhenti membencimu," ucap Akashi tanpa beban, seakan yang ia katakan memang tidak ada artinya. Namun untuk [Name] satu kalimat itu membuat jantungnya seakan berhenti berdetak, napasnya tercekat. Ia...