Aliansi para Mantan

228 6 3
                                    

Kegiatan mata-mata yang awalnya dimaksudkan untuk mengawasi Claudia kini berganti haluan menuju pria yang bahkan belum kutahu namanya itu. Pengawasanku belum membuahkan apa-apa, namanya juga baru hari pertama, tapi aku yakin kesempatan akan datang cepat atau lambat. Tak mungkin mereka bisa bersama setiap saat.

Mereka baru menikah dua hari, Claudia akan terguncang begitu keras tapi guncangan itu tak akan berlangsung lama dan tak akan terlalu membekas. Aku pasti akan ada untuknya, menemaninya setiap saat.

Masalah paling utama adalah, di mana aku harus membunuhnya? Akan lebih baik jika dia mati wajar, terlihat seperti kecelakaan, dengan begitu tak akan ada yang curiga. Aku sudah membaca cukup banyak cerita detektif yang menyelidiki kematian yang tampak seperti kecelakaan, kurasa membuat satu tidak akan terlalu sulit.

Pria itu akan mendapat akhir yang tragis, aku dan Claudia akan mendapatkan akhir yang bahagia. Sungguh rencana yang sempurna.

Tapi sekarang aku harus menyelidiki kebiasaannya lebih dulu dan untuk itu aku harus memperhatikannya lekat-lekat. Harus….

Mungkin karena terlalu serius mengawasi aku jadi tidak menyadari ada seseorang melakukan hal yang sama persis denganku di meja sebelah. Dia duduk sendirian dengan beberapa cangkir kopi yang telah kosong sebagai temannya. Matanya benar-benar fokus, sama sepertiku beberapa detik yang lalu.

Merasa sedang diperhatikan wanita itu pun menoleh ke arahku, dan untuk saat-saat yang terasa begitu panjang, kami terus menatap satu sama lain.

“Halo… Elicia. Apa kabar?”

“Gemini? Wow! Ini benar-benar kejutan.”

Aku yakin kami sama-sama mengetahui apa yang kami lakukan dan memutuskan untuk tidak membahasnya. Untuk menutupi kecanggungan, Elicia mengangkat cangkir kopinya dan pindah ke mejaku sehingga kami duduk saling berhadapan.

Elicia mungkin adalah manusia paling langka yang pernah kukenal. Kulitnya putih bening khas orang Jepang, matanya sipit khas orang Cina, rambutnya pirang kecoklatan khas orang Belanda, dan dia pendek seperti kebanyakan wanita Indonesia. Kenyataannya Elicia memang memiliki darah dari empat negara tersebut dan karena itulah aku selalu menyebutnya manusia langka.

Kami menghadiri Sd, Smp, dan Sma yang sama sehingga bisa dibilang kami teman yang cukup dekat. Kami tak pernah bertemu lagi sejak lulus Sma tapi perempuan yang duduk di hadapanku sekarang tidak terlalu berubah banyak. Dia tampak lebih dewasa, tetapi fisiknya tidak berubah sama sekali.

“Biar kutebak, kau tidak bertambah tinggi satu centi pun sejak kelulusan?”

“Perasaanku sedang buruk, kalau kau membahas itu lagi aku akan pergi.”

Ternyata dia juga jadi lebih galak. Biasanya dia suka ikut tertawa jika aku menggunakan tinggi badannya sebagai lawakan.

“Okay…. Kau keberatan kalau aku membahas kondisi masing-masing? Bagaimana kabarmu? Kau kerja apa sekarang?”

Kurasa pertanyaan itu malah membuat suasana hatinya semakin buruk. Kami sekarang berumur 25 tahun, wajar kan kalau aku bertanya tentang pekerjaan? Elicia dulu adalah murid yang sangat pintar dan rajin, kecil kemungkinan kalau dia berakhir sebagai pengangguran.

“Aku seorang aktor,” jawab Elicia pada akhirnya. “Bekerja untuk studio-studio, mengambil peran kecil di film, kehidupan seperti itu.”

“Aktor? Aku tak ingat kau pernah bilang mau jadi aktor.”

“Aku mulai tertarik saat kuliah. Aku punya teman Youtuber, dia memintaku ikut ambil peran. Cukup menyenangkan, lebih menyenangkan dibanding menghapal undang-undang. Kau sendiri gimana? Ahh, tak perlu bilang. Memangnya siapa yang tidak kenal penulis novel paling tragis sepanjang sejarah, Pisces!”

AZURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang