Ada sebuah pengalaman khusus yang memperkenalkanku dengan apa yang disebut ketakutan. Pengalaman itu terjadi pada tanggal 23 Mei delapan belas tahun yang lalu. Saat itu aku terbangun seperti biasa, tapi aku tak bisa menemukan orangtuaku di mana pun. Mereka tak ada di rumah, tak ada tetangga yang melihat mereka, dan aku tak punya cara untuk menghubungi mereka.
Aku ditinggalkan sendirian tanpa penjelasan dan di hari itu aku harus hidup dengan begitu banyak pikiran negatif yang memenuhi kepalaku. Saat itulah aku akhirnya sadar bahwa kesepian adalah hal yang begitu mengerikan. Tak ada teman untuk diajak bicara, tak ada keluarga untuk diajak bertamasya, hanya aku dan pikiranku yang terus menebar hawa dingin nan menakutkan.
Rumah yang tadinya nyaman mendadak seolah diisi ratusan hantu yang terus mengawasiku dengan tubuh mereka yang tidak terlihat. Suara-suara kecil yang tadinya kuanggap wajar mulai terdengar seperti suara pembunuh berantai yang siap menerobos rumah. Segala hal yang sebenarnya normal membuatku menjadi paranoid. Aku hanya bisa menyembunyikan diri di balik selimut dan berdoa agar orangtuaku cepat pulang.
Pengalaman mengerikan itu berlangsung selama sepuluh jam penuh. Untungnya, saat matahari mulai menunjukkan tanda ingin terbenam, Elicia datang untuk bermain ke rumahku. Aku begitu gembira melihatnya dan hal-hal yang sebelumnya terasa menakutkan berubah jadi begitu menyenangkan berkat keberadaan seorang teman.
Orangtuaku pulang beberapa jam setelah itu dengan pesta kejutan ulang tahun terbesar yang pernah kurasakan. Pesta itu memang meriah, tetapi ketakutan akan kesepian itu sudah tertanam jauh di dalam diriku. Dan kalau dipikir-pikir, mungkin itu juga yang membuatku jatuh cinta pada Elicia. Perasaan ketakutan yang kurasakan saat itu tak sengaja kuanggap sebagai cinta. Lagi-lagi efek jembatan gantung.
Dan sekarang kejadian yang sama terulang lagi dan yang lebih parah, kali ini Elicia lah yang menghilang. Hari ini seperti pengulangan mimpi buruk yang merubahku kembali menjadi anak tujuh tahun yang tak tahu harus melakukan apa. Setelah seharian mencari ke sana kemari aku dipaksa untuk menyerah dan kembali meringkuk di balik selimut.
Sudah lama aku tidak menyadarinya, aku bahkan nyaris melupakannya, tapi ternyata aku adalah orang yang sangat kesepian. Setelah lulus Sma dan kuliah ke luar negeri aku benar-benar putus kontak dengan teman-teman lama. Beberapa di antara mereka mungkin sudah menikah dan punya keluarga untuk diurus sehingga tak punya waktu untuk bertemu lagi seperti dulu. Sekarang hanya aku, dan diriku sendiri.
Sudah terlalu lama aku berjalan sendiri dan saat bertemu dengan Elicia aku merasakan perasaan bahagia yang kurasakan dulu. Mungkin karena itulah aku ingin tetap menghabiskan waktu dengannya, mungkin karena itulah aku ingin dia terus menemaniku, mungkin karena itulah aku begitu putus asa mengejarnya. Keinginanku yang tidak ingin sendirian berubah menjadi cinta dan kini cinta itu pergi, meninggalkan lubang yang jauh lebih besar dibandingkan kesepian itu sendiri.
Sebenarnya ke mana Elicia pergi? Kapan dia pergi? Kenapa dia pergi? Apa aku sudah melakukan sesuatu yang benar-benar buruk sampai dia meninggalkanku tanpa sepatah kata pun? Tak ada satu pun pertanyaan yang bisa kujawab, satu-satunya yang bisa kulakukan hanya memohon dan memohon, memohon agar dia kembali.
“Aku pulang!”
Aku membuka pintu dengan begitu cepat sampai-sampai engsel pintu mengeluarkan suara yang menakutkan. Namun orang yang pulang itu bukanlah Elicia, hanya seorang Azure.
“Ohh, kau….”
“Kenapa kau begitu kecewa? Memangnya kau pikir siapa yang datang? Hande Ercel?”
“Bukan… siapa-siapa.”
“Kau jelas merindukan seseorang. Sayangnya aku lelah dan ingin mandi jadi simpan saja ceritamu untuk makan malam. Kau pasti belum makan.”
Azure mungkin menyebalkan dan cerewet, tetapi setidaknya dia bisa menjadi teman untuk bicara dan terkadang memberikan saran yang amat bagus. Kepadanya aku menceritakan apa yang terjadi dan bertanya kenapa semua ini terjadi tanpa menunggunya berganti pakaian.
“Hmm … mungkin dia menemukan pria lain,” celetuk Azure begitu saja setelah ceritaku selesai.
“Apa kau benar-benar mendengarkan?”
“Aku dengar, dan kemungkinan dia menemukan pria lain tetap tidak hilang. Mungkin dia akhirnya menerima tawaran si sutradara untuk peran film.”
“Sekali lagi kau bilang begitu akan kupastikan garpu ini menancap di testismu.”
“Aku bercanda … tidak juga sih. Kurasa dipikirkan sejauh apa pun kau tetap tak akan tahu kenapa, jadi lebih baik fokus ke apa. Apa yang akan kau lakukan sekarang setelah dia tidak ada?”
“Menunggu.”
“Itu pilihan yang buruk. Rekomendasi pribadiku, cobalah dekati perempuan lain, aku kenal banyak perempuan cantik kalau kau mau.”
“Tak ada yang secantik Elicia.”
“Kau berlebihan. Aku jamin jumlahnya ada banyak, kau saja yang menolak percaya.”
“Kau tidak mengerti,” balasku frustasi. “Ini bukan masalah cantik. Elicia itu….”
Aku termenung. Elicia itu apa? Apa yang begitu spesial darinya sampai-sampai tak bisa digantikan oleh perempuan lain?
“Elicia itu?” desak Azure.
“Elicia itu … aku mencintainya. Aku tak yakin aku bisa mencintai perempuan lain.”
“Aku juga tidak yakin perang dunia ketiga akan terjadi tapi ternyata Rusia dan Ukraina mulai bermain petasan. Kau bahkan tidak mencobanya, dari mana kau bisa tahu?”
“Itu dia, aku tak mau! Aku cuma mau dia dan bukan perempuan lain!”
“…. Wow, tak kusangka kau jujur secepat itu.”
Itu benar. Elicia mungkin tidak sempurna tapi pada akhirnya aku memilihnya, aku mencintainya lebih dibanding perempuan lain. Bagiku itu alasan yang lebih dari cukup untuk tidak berpaling.
“Tapi akhirnya dia meninggalkanmu,” sambung Azure dari balik kegelapan, “dia pergi tanpa mengatakan apa-apa. Sama seperti seorang ayah yang hendak membeli susu tapi tak pernah kembali, itu artinya dia tidak mengharapkanmu kan?”
“Tidak mungkin, dia sudah berjanji mengabdikan hidupnya untukku.”
“Dia itu aktor, mudah saja baginya berakting.”
“DIAM!!”
Tanpa bisa ditahan tanganku meraih gelas dan melemparkannya ke arah Azure. Gelas itu pecah menghantam dinding, hanya beberapa centimeter dari tempat kepalanya berada.
“Aku tak mau dengar kau menjelek-jelekkan Elicia lagi. Kau bahkan belum pernah bertemu dengannya jadi jangan bicara seolah kau mengenalnya.”
“Ohh? Kalau aku menolak?”
“Enyah kau dari rumah ini.”
Wajahnya membatu, matanya berkilat. Awalnya aku yakin dia akan segera meminta maaf tetapi dia malah menyeringai dan berkata, “Okay, aku akan pergi.”
Dan dengan kalimat sederhana itu dia mulai mengemasi barang-barangnya. Aku sama sekali tidak mencoba mencegahnya, harga diriku mencegahku melakukan itu. Aku memilih menutup mata dan bersikap tidak peduli. Satu-satunya yang aku dengar sebelum dia pergi hanyalah pesan (atau hinaan?) terakhirnya.
“Cinta membuat semua orang jadi begitu bodoh dan tak bisa berpikir lurus. Kenapa kalian begitu memuja cinta? Padahal cinta sama sekali tak bisa melakukan apa-apa.”
Dan pintu pun tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZURE
RomanceSuatu hari aku terbangun dan mendapati mantan pacarku telah menikah. Aku menstalking mantan pacarku dan tanpa sengaja bertemu dengan mantan pacar dari suami mantan pacarku yang ternyata adalah mantan teman sekelasku sekaligus cinta pertamaku. Ruwet...