Azure

171 6 2
                                    

Mungkin agak terlambat memberitahukan ini pada bab kedua, tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.

Namaku Gemini. Nama yang sangat tidak umum, buktinya selama dua puluh lima tahun aku hidup belum pernah kutemui orang lain dengan nama serupa.  Dan ya, kau benar, aku memang lahir dengan rasi bintang Gemini sebagai zodiak, lebih tepatnya tanggal 23 Mei.

Namun aku diberi nama Gemini bukan semata-mata karena masalah zodiak, orangtuaku memiliki alasan yang lebih dalam sekaligus lebih mengharukan.

Alkisahnya di tanggal 23 Mei dua puluh lima tahun yang lalu, terlahirlah sepasang anak kembar. Sang kakak yaitu aku terlahir lebih dulu dan sang adik menyusul lima menit kemudian. Sayangnya sang adik tak pernah bernapas, dia sudah meninggal selama di kandungan.

Akhirnya anak kembar itu pun menjadi anak tunggal. Orangtuaku yang bersedih akhirnya memberiku nama Gemini. Kalian tahu seperti apa Gemini itu kan? Gemini adalah rasi bintang yang terdiri dari dua orang, Castor dan Pollux, namun dianggap sebagai satu kesatuan. Karena dilambangkan sebagai sepasang anak kembar, orangtuaku pun memberiku nama itu. Mungkin mereka menganggap jiwa adikku yang mati sebenarnya bersemayam dalam diriku.

Sayangnya diriku dua puluh lima tahun yang lalu sama sekali tidak bisa memprotes nama ini. Kalian pasti paham kan? Kita pasti menginginkan nama-nama keren seperti Clint Barton atau Jack Sparrow atau Giorno Giovanna, tetapi aku malah terjebak dengan nama yang membuat semua orang bisa menebak tanggal lahirku.

Tapi sudah cukup lama sejak aku berdamai dengan nama ini. Saat sekolah dulu aku bertemu dengan orang-orang bernama Andika atau Andre atau Nico, nama-nama yang bisa ditemui di mana saja, karena itulah aku mulai sedikit bangga dengan namaku yang unik. Saking bangganya aku menggunakan nama ini sebagai nama pena. Akibatnya semua orang terus bertanya-tanya siapa nama asliku.

Pekerjaanku… penulis novel. Yeah, aneh memang. Cukup jarang ada orang yang menyebut pekerjaannya adalah penulis novel, karena nyaris tak ada orang yang menggantungkan hidupnya hanya dari menulis novel. Tidak banyak penulis yang bisa kaya raya, tetapi karena sejak awal keluargaku cukup berada maka aku bisa hidup berkecukupan dari itu.

Apa? Penampilan fisik? Well, aku bukanlah orang yang narsis tapi aku harus mengakui bahwa wajahku memang tampan. Saat Sma dulu para wanita pernah melakukan polling ketampanan dan namaku masuk dalam tiga besar. Untuk tubuhku sendiri bisa dibilang cukup tinggi dan berotot. Saat kuliah dulu aku cukup gemar berolahraga, tetapi aku bisa melihat bahwa otot-ototku mulai kehilangan massanya.

Tapi itu adalah deskripsiku satu tahun yang lalu. Sekarang aku memang masih tampan, tetapi kebiasaan malas bercukur dan jarang mandi mulai membuatku terlihat seperti gembel. Mulutku juga bau karena jarang menyikat gigi, dan pakaianku… kepan terakhir kali aku ganti baju? Apa jangan-jangan aku mengawasi kedua orang itu seharian dengan penampilan seperti ini? Ya Tuhan, pasti aku terlihat sangat mengenaskan.

Tanpa menunggu lama lagi aku segera pergi ke tukang cukur, menata rambut dan memangkas jenggotku sampai mulus. Pulang dari sana aku mampir ke minimarket untuk membeli sabun, sampo, deodorant, obat kumur-kumur, dan juga parfum. Setelah sekian abad lamanya aku pun kembali menikmati sensasi guyuran air dingin yang membuat sel-sel kulitku berteriak di pagi hari.

Rasanya sangat menyegarkan, seperti hidup kembali. Mungkin apa yang terjadi kemarin sudah membangunkanku dari kekosongan hidup yang kujalani setahun ini.

“Tumben kau mandi,” celetuk seseorang yang duduk di depan televisi, “Ini yang ke… dua belas dalam tiga bulan terakhir.”

“Aku ada janji,” jawabku sekedarnya.

“Pacar?”

“Bukan.”
“Calon pacar?”

“Bukan juga.”

“Teman tapi mesra?”

“Cuma teman saja.”

“Kalau itu cuma teman kau nggak mungkin pakai parfum dan minyak rambut begitu. Penampilanmu rapi, lumayan bergaya, itu artinya ada seseorang yang ingin kau buat terkesan, seseorang yang kau ingin agar memberi perhatian padamu.”

“Oh, shut up, Man!”

Perkenalkan, orang super menyebalkan dan cerewet ini adalah Azure, sepupuku yang datang merantau dari pedesaan. Penampilan kami cukup mirip, namanya juga sepupu, tapi aku jelas lebih ganteng darinya.

Di rumah ini kami hanya hidup berdua. Ini adalah rumah yang dibelikan oleh orangtuaku agar aku tidak mengganggu kehidupan mesra mereka. Azure adalah penumpang yang kuterima dengan syarat dia harus melakukan semua pekerjaan rumah.

Dia tiba-tiba datang beberapa bulan yang lalu dan berkatnya rumah ini selalu kelihatan bersih, selain kamarku tentunya. Dia jugalah yang memasak dan mencuci. Jika bukan karena dia mungkin aku sudah tewas karena malnutrisi. Maklum, satu-satunya yang bisa kumasak hanyalah mi instan dan aku juga terlalu malas keluar rumah untuk membeli makanan.

“Jadi, apa perempuan ini cantik?” tanyanya lagi, dia memang sama sekali tak menunjukkan hormat padaku sebagai tuan rumah.

“Ya, dia cantik. Wajahnya perpaduan antara Eropa dan Asia, kecantikan semacam itu cukup langka di sini.”

“Hei, lihat matamu itu, kau jatuh cinta.”

“Aku tidak jatuh cinta. Berhenti mengambil keputusan sesukamu.”

“Kau tahu kan aku ambil jurusan psikologi. Sekali lihat pun aku bisa tahu. Kau mungkin nggak sadar, atau menolak mengakuinya, tapi tubuh tidak bisa bohong.”

Aku ternganga. Bicara apa sih dia ini?

“Terserahlah kau bilang apa.”

“Atau,” tambahnya lagi saat aku mulai menyemir sepatu, “apa mungkin ini cinta lama yang bersemi kembali?”

“Iya iya! Dia cinta pertamaku yang tak pernah kesampaian! Puas?!”

“Puas sekali. Tampaknya yang diajarkan dosenku tak sepenuhnya sia-sia.”

Ini adalah satu fakta yang belum aku beritahu pada kalian para pembaca. Claudia memang pacar pertamaku, tetapi perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta adalah Elicia. Saat itu kami masih Sd, cuma sekedar cinta monyet, tetapi malah kebablasan sampai Smp. Karena kami berteman dekat, dan karena wajahku sering tersipu saat di dekatnya, banyak orang suka menjodoh-jodohkan kami. Setiap kali kami jalan berdua pasti akan ada yang berteriak ‘cie cie’ dan itu sangat membuatku senang.

Tapi ternyata itu sangat mengganggu Elicia. Elicia adalah murid paling teladan satu sekolah dan dia menganggap kewajiban murid adalah belajar, bukan pacaran. Melihatnya begitu marah setiap kali ada yang menjodokan kami membuatku merasa ditolak secara tidak langsung. Akhirnya aku pun menyerah pada perasaanku, dan di saat itulah Claudia datang. Aku ingin membantu Elicia dengan menghilangkan semua rumor itu jadi aku menerima pengakuan Claudia dan kami mulai berpacaran. Di luar dugaan ternyata kami saling cocok dan aku pun berhasil melupakan semua tentang Elicia.

Dulu aku suka dia, tapi jika sekarang ditanya seperti itu aku tidak bisa menjawab dengan yakin. Hatiku masih sakit jika mengingat Claudia dan tak akan mudah bagiku untuk bisa mencintai orang lain secepat itu.

“Kurasa aku akan sibuk sampai malam, tak perlu memasak untukku.”

“Kenapa nggak nginap aja sekalian?”

“Sudah kubilang dia bukan pacarku!”

Aku membanting pintu agar tak perlu mendengar komentarnya. Meski demikian apa yang dia katakan terngiang-ngiang selama perjalanku menuju kafe kemarin.

Mengingat kembali memori di hotel, aku cukup yakin Elicia melakukan itu denganku hanya sebagai pelampiasan. Itu tidak membuatku kecewa, tetapi aku menyesal karena menuruti kemauannya. Sayangnya karena kami sama-sama depresi tak ada yang berpikiran panjang, hal itu pun terjadi begitu saja. Ternyata hal yang disebut depresi dan godaan benar-benar bisa membuat manusia tidak waras.

AZURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang