New day. New....

125 5 1
                                    

Pada akhirnya aku menghabiskan malam dengan menginap di rumah Elicia. Kami bangun agak siang, mandi dengan terburu-buru, dan memulai sarapan yang terlambat. Aku sudah pernah melihat Elicia memasak, tetapi melihatnya dengan celemek adalah sebuah pengalaman baru. Dia benar-benar terlihat seperti istri yang baik.

“Ooh tidak tidak, kau duduk saja,” perintahnya saat aku hendak memotong sayuran. “Biarkan pacarmu ini menunjukkan skillnya.”

“Aku tak ragu dengan skillmu, Elicia. Aku cuma mau sarapan lebih cepat.”

“Kalau kau menolak aku nggak mau masak buatmu lagi,” ancamnya. Aku pun langsung mengangkat tangan dan duduk di meja dapur dengan tenang. Bahkan bagian dapur rumahnya juga terlihat begitu sederhana; lemari penyimpanan piring, satu kompor, dan bak cuci piring. Tak ada kulkas di rumah ini jadi bahan-bahan makanan diletakkan di atas meja.

“By the way, makanan favoritmu apa?” tanya Elicia sembari menyalakan api dan menaruh panci di atas kompor.

“Masakan Azure.”

Jawabanku membuatnya tak senang.

“Kuakui mie bakso waktu itu memang enak, masakanku sama sekali bukan tandingan.”

“Jangan begitu, aku juga suka masakanmu.”

“Tak apa-apa, aku mau kau jadi pacar yang jujur, dan aku juga janji nggak gampang tersinggung.”

Aku tak tahu harus menjawab apa dalam kasus ini. Dia ingin aku jujur meski kebenaran itu menyakitkan hati, padahal aku lebih suka jika dia senang.

“Aku suka gorengan tepung,” ucapku setelah diam agak lama, “tempe goreng, gorengan pinggir jalan, ayam kfc, aku suka yang seperti itu.”

“Kau suka makanan yang kriuk-kriuk? Apa kau lebih suka itu dibanding aku?”

“Kenapa perbandingannya jadi begitu sih?”

“Jawab!”

Ya Tuhan, ujian ini benar-benar berat. Bagaimana caranya aku menjawab pertanyaan semacam ini?

“Aku paling suka makanan kriuk-kriuk yang dimasak olehmu.”

“Kau menghindari pertanyaan,” gumamnya geram, “tapi tak apa, jawaban yang bagus.”

Setelah membahas kriuk-kriuk dia pun menuang minyak goreng dan mengeluarkan tepung. Kuharap dia tidak akan memaksaku memilih antara tempe goreng atau dirinya.

“Oh iya,” ucapnya lagi, jantungku berdebar sedikit lebih kencang. “Kau… hmm, kau? Kamu….”

“Ada apa dengan kau?”

“Aku memikirkan nama panggilan,” jawabnya. “’Kau’ tidak terdengar menyenangkan. Aku udah bingung sejak lama, karna namamu Gemini maka panggilanmu harusnya ‘Gem’ atau ‘Ni,’ dua-duanya kedengaran aneh. Bisa-bisa orang mengira namamu Gembrot atau Nini.”

“Nini tidak terdengar buruk,” balasku. “Kau boleh memanggilku ‘Ayang’ atau ‘Beb’ atau ‘Honey.’”

“Terlalu biasa, lagian itu memalukan,” tolaknya dengan kejam. “Bagaimana kalau Gemi atau Mini?”

“Kau mau orang-orang mengira punyaku mini ya?”

“Punyamu? Nggak kok. Kurasa itu lumayan besar.”

“Kalau begitu mari kita coba Gemi.”

“Okay, Gemi.”

“Gemi?”

“Gemi….”

Kami bertatapan selama sepuluh detik penuh sebelum kompak menggeleng.

“Kalau Elicia, kau bisa kupanggil Eli atau Cia. Dua-duanya kedengaran bagus. Eli agak mirip nama laki-laki sih, kalau cia itu Central Intelligence Agency.”

AZURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang