Kami berencana menghabiskan malam hari dengan menonton film, tetapi pemadaman listrik yang mendadak merubah semuanya. Well, sebenarnya tidak mendadak sih. Azure sudah memperingatkanku bahwa token listrik sudah mulai berbunyi dan aku lupa dengan peringatannya, kukira bunyi itu punya tetangga, tetangga kami memang suka sekali bunyi itu.
Dan sekarang kami hanya duduk dalam kegelapan. Elicia bilang dia takut gelap, dan kejadian ini membuktikannya.
“Sudah kubilang; jangan takut sendirian dalam gelap, takutlah kalau kau tak sendirian dalam gelap.”
“Itu dia, sekarang aku tidak sendirian kan?”
“Memangnya aku setan?”
Untuk membuktikan bahwa aku bukan setan, kutarik dia ke dalam pelukanku. Elicia tidak melawan, mungkin dia merasa lebih nyaman mendengar suara detak jantungku.
“Kenapa kau masih takut gelap di umur segini? Trauma? Atau jangan-jangan kau bisa lihat hantu?”
Elicia terdiam, dia melingkarkan tangannya mengelilingi perutku sehingga kami menempel sedemikian erat. Dia pasti tengah memikirkan sesuatu yang horor.
“Saat itu tahun 98, aku tak tahu kenapa tapi ibu menyembunyikanku di lemari bawah tangga dan mengunciku. Di sana gelap, aku tak bisa melihat apa yang terjadi, dan suara-suara yang terdengar sangat mengerikan. Aku ingin menangis, tapi ibu menyuruhku untuk tidak menangis. Aku tak lagi ingat jelas apa yang terjadi, tapi setelah lama sekali akhirnya ayah membuka pintu dan… dan….”
Kubalas pelukannya, satu tangan di belakang kepala dan satunya lagi di punggung. Harusnya saat itu dia masih dua atau tiga tahun. Itu artinya trauma itu sudah menghantuinya nyaris seumur hidup.
“Saat aku masih… berapa ya? Lima tahun. Saat itu juga gelap seperti sekarang, aku sedang makan. Karna gelap aku tak bisa melihat apa yang kumakan, tapi namanya juga lapar, lagi pula makan itu cuma mengambil makanan dengan sendok dan memasukkannya ke mulut, tidak terlalu sulit meski lampu mati. Aku hanya mencoba makan dengan tenang, tetapi di mulut aku merasakan sesuatu yang… renyah, bau, dan menjijikkan. Coba tebak apa itu.”
“Umm… bunga lawang?”
“Kecoak!” teriakku histeris. “Ada kecoak yang berjalan ke piringku dan tak sengaja terbawa sendok dan tak sengaja kugigit. Hiii…. Aku selalu bergidik membayangkan rasanya. Yang lebih parah lagi, tiba-tiba lampu menyala dan aku memuntahkan semua yang ada di mulutku. Bisa kau bayangkan? Kecoa itu masih bergerak meski kepalanya kukunyah….”
“Cukup cukup! Aku tak mau dengar!”
Cerita menjijikkan itu sudah cukup untuk mengalihkan ketakutannya akan gelap, tetapi akibatnya dia malah mengeluarkan suara seperti muntah. Cukup sulit melihat dalam gelap, semoga saja dia tidak benar-benar muntah. Jika saja dia kembali lapar dan makan di tengah gelap bukan tak mungkin akan ada kecoak yang hinggap di piringnya.
“Mari… kita bicarakan cerita yang romantis saja. Okay? Bagaimana kalau kau cerita tentang cinta pertamamu?” usulnya kemudian.
“Kenapa kau mengangkat topik yang mudah membuat cemburu?”
“Tak apa, aku harus belajar cemburu cepat atau lambat.”
“Kalau gitu kau duluan.”
Elicia terdiam. Meski tertutup gelap aku tahu wajahnya memerah panas.
“Aku… tak ada yang menarik,” balasnya.
“Aku juga tak ada yang menarik,” Elicia cemberut, “tapi aku tahu cerita menarik tentang cinta pertama. Kau ingat temanku yang tertembak? Dia sebenarnya sudah menikah. Dia cerita padaku kalau dia pernah ditolak oleh cinta pertamanya dulu dan lima belas tahun kemudian, saat keduanya sudah sama-sama menikah, mereka bertemu kembali.”
KAMU SEDANG MEMBACA
AZURE
RomanceSuatu hari aku terbangun dan mendapati mantan pacarku telah menikah. Aku menstalking mantan pacarku dan tanpa sengaja bertemu dengan mantan pacar dari suami mantan pacarku yang ternyata adalah mantan teman sekelasku sekaligus cinta pertamaku. Ruwet...