Bagiku, ayah adalah satu-satunya orang yang tak ingin aku kecewakan. Di sepanjang hidupnya yang penuh kekecewaan, aku adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya dan aku berniat untuk memenuhi seluruh ekspektasinya. Aku belajar dengan baik, mencoba berteman dengan semua orang, taat peraturan, dan menjadi anak yang penurut.
Karena ayah memiliki darah campuran Belanda dan Jepang, dia selalu merasa berbeda tak peduli di mana pun dia berada. Mungkin dalam tahun-tahun terakhir sebelum dia jadi pikun, cuma aku orang yang pernah dia ajak bicara. Bahkan para perawat di panti jompo cukup kesulitan mengurusnya karena ayah sering kali bicara dengan bahasa Belanda yang tidak mereka mengerti.
Ayah adalah satu-satunya keluargaku. Sekarang setelah dia tiada aku tak punya siapa pun yang memiliki darah serupa denganku. Aku sering merasa darah yang berasal dari empat macam negara ini adalah darah yang unik, aku bangga karenanya, tetapi orang lain tidak berpikiran seperti itu. Karena itulah aku merasa hanya ayah yang bisa mengerti aku karena kami sudah mengalami hal yang sama.
“Hey....”
Dan sekarang, aku sendirian. Hidup tanpa ibu saja sudah terasa berat dan sekarang aku benar-benar jadi yatim piatu. Aku memang tidak menangis, semua air mataku sudah dihabiskan di hari pertama. Sayangnya air mata yang habis tak ikut mengeluarkan semua kesedihan. Kesedihan itu sudah mengendap terlalu dalam dan mungkin tidak akan pernah hilang tak peduli berapa puluh kali kalender berganti.
“Kalau kau tak menjawab aku akan menciummu.”
Ayahku tak mungkin mengatakan yang seperti itu. Cuma Gemini yang akan mengatakan hal semacam itu padaku. Ah ya, Gemini….
Saat kesadaranku kembali ke tubuh sudah terlambat bagiku untuk menghindari ciumannya. Aku menahan napas, setengah karena tak ingin bau napasku yang baru bangun tidur tercium olehnya, setengahnya lagi karena tak mau mencium bau napasnya yang baru bangun tidur.
“Kau lakukan itu lagi aku bersumpah akan mengebirimu.”
“Salahmu sendiri mengabaikanku selama setengah jam, kau mikirin apa sih?”
“Aku memikirkan… berapa jumlah kembang api yang diperlukan untuk membawa manusia ke luar angkasa.”
Wajah kebingungannya cukup menggemaskan jadi aku akan memaafkan perbuatannya tadi. Rasanya tidak adil jika aku membandingkannya dengan ayahku, itu perbandingan yang sangat tidak pantas untuk dilakukan.
Gemini adalah orang yang sudah membunuh ayahmu.
Ahh, padahal kukira tidur selama delapan jam bisa membuatku melupakan itu, tetapi ternyata tidak semudah yang kukira. Itu hanya satu kalimat tapi efeknya lebih mematikan dibanding hanya minum air selama tiga hari penuh. Kalimat itu berputar-putar di kepalaku dan membuatku tak bisa memikirkan hal lain.
Tiga hari yang lalu ayah menghembuskan napas terakhirnya. Tentunya aku tidak ada di sana, para perawatlah yang menghubungiku. Mereka bilang ayah sama sekali tidak merespon saat dibangunkan dan saat mereka melakukan cek, ayah sudah tidak bernyawa, meninggal dalam tidurnya. Tak ada luka apa pun, tak ada racun, tak ada tanda kekurangan oksigen, itu kematian alami yang amat wajar bagi orang yang sudah separuh jalan menjalani usia kepala tujuh.
Jadi apa maksudnya membunuh? Tak mungkin Gemini tahu di mana ayahku berada dan dia juga tak punya alasan untuk melakukan itu. Selain itu, kenapa aku merasa terganggu dengan sms dari orang yang bahkan tak jelas keberadaannya?
Azure. Aku hanya sekedar mengenal namanya saja, tak tahu rupanya, tak pernah bicara dengannya. Kalau dipikir-pikir lagi dari mana dia tahu nomorku? Atau pertanyaan yang lebih sederhana, siapa sebenarnya dia?
Om dan Tante sudah menegaskan bahwa mereka tak punya keponakan bernama Azure, tetapi Gemini bilang bahwa orang itu adalah sepupunya. Apa Gemini berbohong padaku? Mungkin sebenarnya Azure bukanlah sepupu melainkan orang lain yang sama sekali tidak berhubungan dengannya.
Namun, aku punya kecurigaan lain. Kecurigaan yang sangat tidak menyenangkan.
“Honey, kau punya tempat yang ingin kau kunjungi hari ini? Atau kau ingin di rumah seharian?”
Pertanyaan yang muncul saat sarapan itu membuatku berhenti mengunyah.
“Aku tak terlalu suka madu jadi panggilan honey itu agak….”
“Darling?”
“Yeah, yang itu tak apa. Aku nggak punya rencana sih, tapi karena besok harus kembali kerja sayang banget kalau cuma diam di rumah. Apa ada tempat yang bagus dan dekat dan tidak perlu biaya untuk dikunjungi?”
“Ada, ke hatiku.”
Untung saja aku tidak sedang mengunyah. Bisa-bisa aku muntah mendengar itu.
“Sayang… aku tak terlalu pintar menyampaikan cintaku tapi caramu menyampaikan cinta membuatku mual. Apa tak ada cara lain yang lebih efektif dan lebih romantis untuk saling mengutarakan cinta?”
“Hmm… kalau kau mau kita bisa ke taman bermain. Kita bisa naik wahana, berbagi es krim, dan berfoto di banyak tempat. Apa yang seperti itu membuatmu mual?”
“… Aku tak bermaksud kasar. Maaf kalau kau—”
“Tidak tidak, aku tidak tersinggung. Sedikit banyak aku sudah terbiasa dengan lidahmu yang tajam. Aku juga suka bagian itu darimu.”
Dia pacar yang pengertian, terlalu pengertian sampai-sampai aku merasa semua berjalan terlalu mulus. Jalanan yang mulus tak selamanya memberikan rasa aman. Terkadang jalan yang mulus justru menimbulkan kecurigaan, seolah-olah kau sedang dibimbing ke sebuah jebakan.
Akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan siang di taman bermain, tetapi saat Gemini pergi mencuci piring sebuah panggilan masuk merubah total rencana kami.
“Gemini, seseorang menelpon,” ucapku agak keras agar dia mendengarnya di dapur.
“Siapa itu?”
Kuambil ponselnya yang tergeletak di meja, nama pemanggil yang tertera di layar membuatku merenung sejenak.
“Editormu Cecile.”
“Abaikan saja.”
“Tidak, kau harus angkat.”
Ekspresinya saat aku membawakan panggilan yang sudah terhubung itu tampak seperti seorang anak yang ketahuan berlangganan Onlyfans. Tangannya begitu gemetar sampai-sampai getaran itu menular ke tanganku saat menyerahkan ponsel padanya. Aku duduk dan menunggu dengan sabar sampai panggilan itu selesai. Panggilan yang lebih mirip drama kemurkaan atasan itu selesai dalam dua menit.
“Dia bilang kami harus segera bertemu dan berunding,” ucap Gemini dengan wajah seseorang yang telah kehilangan harapan.
“Bagus kalau begitu, temuilah dia.”
“Aku belum siap.”
“Apa menurutmu aku siap saat ayahku meninggal? Kau tak akan pernah siap, tapi kau akan belajar untuk menjalaninya saat itu tiba.”
“Lagi-lagi kau mengutip apa yang kutulis di novel.”
“Karena kau menulis itulah makanya kau harus bertanggungjawab. Atau apa semua yang kau tulis cuma omong kosong?”
“Okay, kau menang. Tapi kalau aku ke sana, kau bagaimana?”
“Aku… akan ke rumah orangtuamu.”
“Itu ide buruk.”
“Kurasa memperkuat hubungan kami adalah ide cemerlang. Bukannya kau bilang ingin cepat menikahiku? Kalau begitu pergilah dan segera bekerja.”
Dengan banyak menggerutu dia akhirnya setuju. Aku beralasan ingin berbenah sebelum pergi agar dia tak perlu mengantarku. Ada beberapa hal yang perlu kuselidiki, jika aku terus mendiamkan masalah ini maka aku tak akan pernah melihat masa depan di mana kami bisa bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZURE
RomansaSuatu hari aku terbangun dan mendapati mantan pacarku telah menikah. Aku menstalking mantan pacarku dan tanpa sengaja bertemu dengan mantan pacar dari suami mantan pacarku yang ternyata adalah mantan teman sekelasku sekaligus cinta pertamaku. Ruwet...