Aku percaya padamu

130 5 2
                                    

Saat terbangun keesokan harinya, aku mendapati sarapan telah disusun rapi di atas meja. Azure tidak terlihat di mana pun tetapi dia meninggalkan catatan yang menyuruhku untuk memanfaatkan waktu sarapan berdua kami. Aku segera membakar catatan itu hingga jadi abu. Untung saja Elicia belum bangun, jangan sampai dia melihat catatan itu.

Oh ya, karena semalam aku gagal membawa pulang kayu manis, Azure tidak jadi memasak bubur. Sebagai gantinya pagi ini dia membuat mie bakso. Makanan yang cukup berat untuk sarapan, tetapi sudah lama aku berhenti peduli pada hal semacam itu. Yang paling penting itu adalah enak dan mengenyangkan, nutrisi itu nomor tiga.

Elicia keluar saat aku sudah menghabiskan separuh porsi. Aku menyuruhnya duduk tapi dia memilih mencuci muka terlebih dahulu sebelum makan dengan mata yang masih mengantuk.

“Tidurmu tak nyenyak?” tanyaku sambil menguap.

“Cuma sedikit,” jawabnya sambil memperhatikanku menguap. “Kau kurang tidur ya?”

“Hmm? Ahh, sofa memang bukan tempat untuk tidur. Aku beberapa kali jatuh di tengah malam.”

Elicia termenung. “Maaf. Harusnya aku yang tidur di sofa.”

“Tak mungkin aku membiarkan tamuku kedinginan.”

“Kau terlalu baik padaku.” Dia memutar-mutar garpu dengan jari-jarinya, ekspresinya suram. “Tapi kasurmu cukup untuk dua orang kan?”

“Maksudmu?”

Dia meletakan garpunya lalu memeluk tubuhnya sendiri seolah-olah dia merasa kedinginan. “Aku tak keberatan kok.”

Aku sedikit tersentak tapi akhirnya memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Apa yang Azure katakan terus tergiang di kepalaku. Jangan jadi pelampiasan, jangan jadi pelampiasan.

Itu adalah tawaran yang sangat menggoda tapi Elicia hanya ingin lari dari kenyataan, bukan karena dia menyukaiku. Aku yakin dia tidak akan merisaukannya tapi setelah itu dia hanya akan menganggapku sebagai obat pereda rasa sakit.

Mau tak mau aku jadi sadar kalau hubungan pria dan wanita dewasa jauh lebih sulit dibanding hubungan antar remaja. Untungnya Elicia menganggap diamku sebagai penolakan jadi dia tidak menyinggung itu lagi.

Setelahnya kami melanjutkan makan tanpa ada pembicaraan lain. Elicia memasang wajah seolah menyuruhku untuk memulai percakapan, tapi setelah dia menyinggung hal tadi aku jadi benar-benar tak tahu harus bicara apa.

“Ini benar-benar enak,” ucap Elicia lebih dulu karena aku tak bisa diharapkan untuk bicara. “Sejak kapan kau jadi jenius memasak?”

“Semalam. Just kidding, bukan aku yang masak tapi Azure.”

“Sepupumu? Di mana dia?”

“Lari pagi. Sudah kebiasaannya.”

“Dia akan jadi suami yang baik.”

Excuse me? Bukannya memasak itu tugas perempuan?

Tiba-tiba aku mendapat gambaran aneh kalau suatu hari nanti Elicia akan jadi wanita karir yang setiap hari pulang malam dan disambut suaminya yang merupakan suami rumah tangga. Itu akan jadi pemandangan yang sangat menarik.

“Jadi hari ini kau punya aktivitas apa? Menguntit lagi?” tanyaku selepas sarapan.

“Tidak. Aku… aku harus cari uang untuk biaya panti jompo.”

Dia menatapku lekat-lekat dengan keragu-raguan di matanya dan aku tahu apa maksudnya.

“Aku punya simpanan kalau kau mau pinjam uang.”

“Aku bersyukur kau mau meminjamkan, tapi aku tak yakin bisa mengembalikan.”

“Hoi hoi, tak mungkin aku bisa memberimu cuma-cuma.”

“Tapi aku benar-benar nggak bisa bayar, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Kau tahu aku cuma kasir supermarket. Aku juga batal ambil peran itu jadi aku benar-benar tak punya pemasukan yang menjanjikan.”

Dengan kata lain, dia benar-benar butuh uang tapi tak akan sanggup membayarnya kembali. Ternyata keadaannya sudah serumit ini.

“Gimana kalau kau gadaikan rumah?”

“Mmm… aku sudah menggadaikannya dulu, dan masih mencicil hingga sekarang.”

Pantas saja. Kalau begini dia benar-benar tak bisa dapat uang cepat kecuali menggunakan cara ilegal, atau jika seseorang berbaik hati padanya.

“Jadi… kau tak bisa beri aku pinjaman?” tanya Elicia agak berbisik.

“Bukan tidak bisa, tapi pendapatanku juga sangat tidak pasti karena aku sudah berhenti menulis. Lagian kau butuhnya berapa? Bukannya ada panti jompo yang gratis?”

“Panti jompo gratis itu hanya untuk orang tua terlantar, lagian ayahku sudah benar-benar pikun jadi butuh banyak perawatan,” jawabnya. “Dan karena aku sudah menunggak beberapa bulan, setidaknya aku butuh lima belas juta.”

Itu tak bisa dibilang kecil, tetapi menolaknya dengan alasan terlalu banyak juga terasa berlebihan. Aku yang sekarang tak punya pemasukan tetap dan harus menghidupi dua orang. Jika Elicia tak pernah membayar hutangnya, apa aku bisa merelakan uang sebesar itu?

“Kalau tidak,” bisiknya lagi, “kau boleh pakai tubuhku sebagai jaminan.”

Beberapa detik terlewat dengan hening. Aku menunggu seseorang tertawa untuk menghormati lelucon itu, sayangnya Elicia sama sekali tidak terlihat bercanda.

“Kalau kau terus bicara seperti itu bisa-bisa cerita ini akan dikenai tag 18+. Hentikan itu!”

“Tapi aku serius.”

“Tak kusangka kau sudah jatuh ke level pelacur,” balasku.

“Semua wanita itu pelacur, bahkan istri yang baik pun menjual kemaluannya demi uang belanja.”

“Jangan katakan sesuatu yang tak bisa kau pertanggungjawabkan. Bahkan Eka Kurniawan dicibir karena menulis itu di novelnya jadi jangan sembarangan mengutip itu. Serius deh, kalau sikapmu begitu apa bedanya kalau kau tidur dengan sutradara?”

“Beda,” jawab Elicia dengan suara yang amat datar sampai-sampai terdengar seperti suara google translate. “Aku bersedia menawarkan diri karena itu kau, Gemini.”

Ughh. Perkataannya membuatku tersentuh sekaligus malu. Apa dia tak masalah denganku karena itu tak akan menambah jumlah orang yang pernah tidur dengannya?

“Dengar Elicia, aku tak tahu apa yang terjadi padamu tapi kau harus hargai dirimu lebih tinggi dari itu. Uang itu bukan segalanya.”

“Kau kan orang kaya, mudah bagimu ngomong begitu” sangkalnya. Memang benar, selama ini aku belum pernah kesulitan dengan uang.

“Aku bukan bermaksud mengejekmu, tapi coba lihat dirimu saat Sma! Kau dulu mengajar bimbel ke rumah-rumah untuk uang jajan, kenapa tidak lakukan itu lagi? Apa kau lebih suka uang mudah dengan modal ngangkang?!”

“Bukan begitu! Aku hanya…. Ya, kau benar. Aku sudah tak tahu harus cari uang ke mana lagi.”

Lihatlah saudara-saudara. Ini adalah Elicia yang dulu selalu juara satu di kelas, anggota osis, selalu menegur orang yang melanggar aturan, penggila disiplin, dan bertekad baja. Sebenarnya apa yang sudah dunia ini lakukan padanya? Aku tak tahan melihatnya seperti ini, terlalu menyedihkan. Aku benar-benar merindukan Elicia yang dulu.

“Oke, akan kupinjamkan kau uang tapi harus kau kembalikan. Itu syarat pertama,” ucapku tegas. “Yang kedua, mulai sekarang aku akan mengatur jadwalmu. Tak ada alasan pemasukanmu kecil, kau hanya perlu bekerja lebih banyak. Yang jelas, turuti semua perintahku. Akan kupastikan kau membayar uang itu segera.”

Mulut Elicia terbuka sedikit dan kemudian menutup lagi. Aku tahu dia pasti tengah memikirkan betapa tidak masuk akalnya kesepakatan ini, bagaimanapun lima belas juta sama sekali terlihat kecil bila ditukar dengan hidup seseorang. Memang tidak masuk akal, tapi aku tak bisa menyampaikan maksudku dengan lebih baik.

“Baiklah,” jawab Elicia pada akhirnya, “terserah apa yang mau kau lakukan. Aku percaya padamu.”

Aku percaya padamu, mungkin itu adalah kalimat paling indah yang pernah Elicia katakan padaku. Jika dia memang mempercayaiku sampai dia berani mempertaruhkan jiwa dan raganya maka aku juga perlu berusaha sebaik-baiknya.

AZURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang