“Hei Elicia, coba pilih satu di antara dua opsi ini; menyesal dalam penderitaan atau menyesal dalam keputusasaan?”
“… Bukannya dua-duanya sama aja?”
“Ada sedikit perbedaan, menyesal dalam keputusasaan berarti kau sudah mencoba segala opsi yang ada tapi gagal, sedangkan menyesal dalam penderitaan berarti kau menerima kesalahanmu dan menanggungnya sebagai bentuk hukuman. Di antara kedua itu kau pilih yang mana?”
“Aku akan memukul kepalaku dengan panci hingga amnesia dan melupakan semua penyesalanku.”
“… Kau memang benar-benar pintar ya.”
Sekali lagi dia menanyakan pertanyaan yang aneh. Sejak pulang dari lokasi syuting dia terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengenakkan dimulai dari ‘mati dikubur atau mati tenggelam’ hingga ‘menikah dipaksa atau kawin lari ke Timur Leste.’ Sebenarnya untuk apa dia menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting ini?
Untuk sedikit gambaran, pacarku Gemini adalah pria paling tampan yang pernah kutemui. Jika suatu saat nanti kami menikah dan punya anak, aku ingin anak laki-lakiku punya wajah setampan dia. Terlebih lagi dia tinggi, sempurna untuk menutupi genetik tubuh pendek yang kuterima dari ibuku. Dia juga enak diajak ngobrol, meski topik pembicaraannya kadang aneh-aneh. Kalau saja dia bisa menyingkirkan sifat narsisnya itu maka dia akan menjadi makhluk paling sempurna di muka Bumi.
Namun penampilan luarnya hanya sepuluh persen alasan kenapa aku mencintainya. Dia adalah pria yang punya kualitas yang diharapkan semua wanita. Selalu menemanimu, selalu ada saat kau butuh, peduli padamu lebih dari dirinya sendiri, menjadi tempatmu bersandar tak peduli apa pun masalahmu. Sejak pertama kali kami bertemu kembali (itu baru sebulan yang lalu, sangat mengejutkan) aku yakin dia sudah mencoba untuk menarik perhatianku dan aku harus bilang semua tindakannya terasa begitu tepat seolah-olah dia punya buku pentunjuk yang selalu memberitahunya jalan yang benar.
Perasaanku sendiri padanya tidak bisa dibilang benar-benar cinta, kurasa ini lebih seperti efek jembatan gantung yang akhirnya berubah menjadi ketergantungan. Meski demikian itu tidak merubah fakta bahwa aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya. Lagipula kebanyakan kisah cinta tak selalu langsung dimulai dari cinta. Beberapa dimulai dari rasa benci, beberapa lagi rasa iri, dan sisanya dorongan seksual. Ujung-ujungnya semua menjadi cinta, ujung-ujungnya semua berakhir indah.
Kembali ke laptop, sedari tadi dia terus menanyakan pertanyaan yang aneh, aku heran apa yang tengah mengganggunya sekarang.
“Hei Elicia, coba pilih—"
“Biar aku yang memberikan pertanyaan sekarang,” potongku sebelum dia bertanya aku lebih suka hidup di Kutub Utara atau Selatan. “Membiarkanku menikah dengan orang lain atau membiarkan negara ini hancur.”
“Membiarkan negara ini hancur,” jawabnya tanpa jeda berpikir.
“Kalau negara ini hancur kita akan tinggal di mana?”
“Kita bisa memesan tiket ke Brazil sebelum hari pernikahanmu jadi kita sudah aman di Brazil saat negara ini hancur.”
“Omong kosongmu tak pernah gagal membuatku terkesan.”
Ini memang pertanyaan yang bodoh, tapi aku jadi punya gambaran sebesar apa dia mencintaiku. Itu jika dia menjawab dengan jujur.
“Itu pertanyaan untuk tes psikologi, benar kan?” tanyaku, dia mengangguk. “Pertanyaan seperti itu secara tidak sadar akan menggambarkan seperti apa kepribadian kita dari pilihan yang kita ambil, jadi memilih pilihan ketiga sebenarnya merusak tujuan tes itu sendiri. Jadi, apa yang ingin kau tes dariku?”
“Aku bukan ahli psikologi jadi sebenarnya aku tidak mengetesmu. Aku hanya mencoba mencari pilihan ketiga dari dua pilihan yang tampaknya tak bisa dihindarkan. Sama seperti… Pisces.”
KAMU SEDANG MEMBACA
AZURE
RomanceSuatu hari aku terbangun dan mendapati mantan pacarku telah menikah. Aku menstalking mantan pacarku dan tanpa sengaja bertemu dengan mantan pacar dari suami mantan pacarku yang ternyata adalah mantan teman sekelasku sekaligus cinta pertamaku. Ruwet...