Enam

12.9K 2.4K 89
                                    

Meskipun tidak terlalu sering menghadiri acara pernikahan, tentu saja aku familier dengan hajatan itu. Akad nikahnya diadakan di rumah calon mempelai wanita atau masjid, sementara perjamuan dihelat di hotel atau halaman rumah dengan memasang tenda besar. Berbagai dekorasi pelaminan dan ruang resepsi bisa dilihat di media sosial atau televisi. Banyak yang memamerkan hal ini. Berbagi dekorasi pelaminan dan ruangan yang dipakai untuk menjamu tamu sangat lazim dilakukan. Pernikahan adalah impian nyaris setiap perempuan, jadi sangat wajar jika mereka ingin menyebarkan kebahagiaannya pada khalayak.

Aku? Aku tidak pernah membayangkan pernikahan sebelumnya. Saat remaja, aku menghabiskan waktu luang selepas sekolah untuk membantu Nenek mengurus warung dan Asya. Aku tidak punya kesempatan menggosip sambil melirik cowok-cowok yang menjadi sumber histeria teman-teman cewekku, sehingga melewatkan kemungkinan mengalami rasa tertarik dan jantung berdebar seperti remaja pada umumnya saat jatuh cinta untuk pertama kali.

Setelah dewasa, realita menghantamku kuat, karena aku menyadari bahwa aku sepenuhnya bertanggung jawab pada Asya. Laki-laki yang menginginkanku harus bisa menerima Asya juga, karena kami sepaket.

Dulu, beberapa bulan setelah bekerja, salah seorang rekan kerja aktif mendekatiku. Aku yang saat itu naif, menganggap bahwa itu mungkin saat yang tepat untuk membuka hati dan akhirnya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki untuk pertama kalinya. Awal dan akhir yang bahagia bagiku.

Apa yang kurasakan padanya bukanlah perasaan cinta yang menggebu. Kurasa aku hanya senang karena menemukan orang yang sangat perhatian. Untuk pertama kalinya ada orang yang menyempatkan diri mengirimkan pesan-pesan remeh sampai puluhan kali sehari. Kesannya memang agak berlebihan, tapi karena aku tidak punya pengalaman melakukan pendekatan atau pacaran sebelumnya, aku pikir berbalas pesan remeh penuh basa basi adalah hal wajar yang dilakukan orang-orang yang sedang kasmaran.

Kisah supersingkat itu mirip kuncup bunga yang tidak sempat mengembang. Semua berakhir ketika laki-laki itu datang ke rumah dan melihat Asya. Aku masih ingat apa yang dia ucapkan. Katanya, "Penyakit seperti adik kamu itu penyakit turunan, kan?"

Keesokan harinya, dia sudah mengajak orang lain untuk makan siang bersamanya. Dia seolah tidak mengenalku saat kami berada di dalam lift yang sama.

Sejak saat itu aku sudah menerima takdir seandainya aku tidak akan pernah menikah. Kalau orang yang mendekatiku kelak sepicik laki-laki itu, mereka akan berpikir berkali-kali untuk mengajakku menikah karena takut jika anak-anak yang kulahirkan akan mengalami nasib yang sama seperti Asya.

"Udah siap, Bi?" suara Mbak Menur mengembalikan pikiranku yang mengembara jauh menjangkau masa lalu.

"Sudah, Mbak." Aku memperhatikan pantulan setengah badanku di cermin. Aku mengenakan baju terbaik yang kupunyai untuk acara hari ini. Baju yang kubeli sekitar dua tahun lalu, setelah beberapa bulan bekerja dan merasa perlu menyesuaikan diri dengan teman-teman kerjaku yang modis.

Hari ini aku akan bertemu Nawasena di KUA untuk menikah. Ini akan menjadi pertemuan kami yang pertama setelah percakapan absurd dua minggu lalu di apartemen Fajar.

Aku tidak punya waktu untuk berpikir matang karena pemilik kontrakan mengirim pesan yang mengingatkan batas waktu pembayaran atau aku dan Asya harus keluar dari rumah.

Keputusan itu aku ambil berdasarkan dua hal. Pertama: pertimbangan tumpukan dosa. Kalau aku akhirnya menjadi budak nafsu laki-laki, sebaiknya itu terjadi dalam ikatan pernikahan, sehingga aku tidak akan dikejar-kejar perasaan berdosa dan menyalahkan diri seumur hidup.

Kedua: aku benar-benar berseluncur di antara gelombang internet seperti yang diminta laki-laki yang menawarkan pernikahan itu untuk mengetahui siapa dirinya. Hasilnya lumayan mencengangkan.

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang