Dua Puluh

13.1K 2.1K 175
                                    

MOBIL Nawasena ada di garasi. Hanya dengan melihat mobilnya saja, nyaliku langsung ciut. Jantungku mendadak berdebar kencang, perutku mulas, dan telapak tanganku berkeringat. Untuk kesekian kalinya, peristiwa semalam terlintas lagi di benakku. Reaksiku sangat memalukan. Sungguh amatir.

Adegan film biru yang sempat kuintip di awal menikah beberapa bulan lalu melibatkan gerakan yang dinamis, rintihan, bahkan teriakan. Tapi tidak ada yang meneteskan air mata seperti aku. Iya, memang sakit dan rasanya tidak nyaman, tapi itu bukan sakit yang tak tertahankan. Hanya sekejap pula. Tidak seperti sakit gigi yang bertahan lama, yang analgesik pun terkadang sulit mengatasinya.

Kalau saja Nawasena mengikatku hanya untuk hubungan seksual seperti yang ditawarkan Fajar, aku pasti sudah dipecat karena gagal di percobaan pertama. Siapa juga yang menikmati berhubungan dengan perempuan yang bercucuran air mata dan konsisten menutup mata? Sex doll pasti bisa melakukan tugas lebih baik daripada aku.

Untung saja alasan Nawasena menikahiku bukan untuk mendapatkan kepuasan seksual sehingga aku bisa bertahan berbulan-bulan di rumahnya dengan kompensasi besar tanpa perlu melakukan apa pun.

Aku merasa malu pernah begitu percaya diri menerima tawaran Fajar untuk menjadi simpanannya. Waktu itu aku pastilah sangat putus asa sehingga tidak memperhitungkan jika laki-laki pasti mencari pasangan yang berpengalaman dan responsif saat bersenang-senang. Untuk itulah mereka bersedia mengeluarkan uang banyak. Pengeluaran haruslah seimbang dengan kepuasan yang didapat.

Aku menahan supaya Asya tidak melompat-lompat dan berisik saat masuk rumah. Lebih baik Nawasena tidak menyadari kehadiran kami. Aku belum ingin bertatap muka dengannya dan melihat ekspresinya yang mencemooh karena sikap menggelikan yang aku tampilkan semalam.

"Mbak...!" Mbok Sarti menghentikan langkahku yang berjingkat-jingkat menaiki tangga. "Mas Sena pesan supaya Mbak Febi ke ruang kerjanya kalau sudah pulang." Dia melepaskan jari-jariku yang memegang pergelangan tangan Asya. "Asya ikut Mbok ya."

Aku berdeham. "Mas Sena udah lama datang, Mbok?"

"Udah hampir dua jam, Mbak. Tadi sempat keluar nanyain lagi apakah Mbak Febi udah pulang. Emang dia nggak telepon?"

Aku pasti gemetaran kalau dia benar-benar meneleponku setelah kejadian semalam. Aku belum bisa menghapus rasa malu karena sudah bersikap seperti ratu drama di atas tempat tidur.

Aku menarik dan mengembuskan napas panjang, lalu mengepalkan telapak tangan untuk memberi semangat pada diri sendiri sebelum melangkah pelan-pelan menuju ruang kerja Nawasena. Aku harap ruang kerjanya berjarak sepuluh kilometer sehingga butuh waktu lama untuk sampai di sana. Sayangnya ruangan itu masih di dalam bangunan rumah ini, sehingga meskipun besar, hanya butuh sedikit waktu untuk menjangkaunya.

"Masuk!" suara Nawasena terdengar setegas biasanya saat aku mengetuk pintu.

Aku menguak pintu pelan-pelan lalu masuk dengan pandangan menekuri lantai. Biasanya, aku memang selalu menghindari tatapan Nawasena, tetapi hari ini lebih parah karena level kepercayaan diriku sudah menempel di telapak kaki.

"Duduk! Kamu mau terus berdiri di situ? Memangnya kamu sedang disetrap?"

Aku buru-buru duduk pada salah satu sofa yang ada di situ. Nawasena tidak tahu saja kalau sikapnya lebih menakutkan daripada guru yang menyetrap muridnya.

"Jawab yang jujur, kenapa kamu kerja di kelab? Kenapa kamu nggak cari kerjaan seperti yang kamu kerjain sekarang di tempat Rigen?" tanya Nawasena beruntun.

"Saya... saya dulu kerja di kantoran sebelum nenek saya meninggal." Aku terus menunduk menekuri jari, mengawasi kukuku yang sudah minta dipotong. "Tapi setelah Nenek meninggal, nggak ada yang bisa mengawasi Asya lagi siang hari, padahal saya nggak bisa meninggalkan dia sendirian di rumah." Aku meneruskan saat tidak mendengar tanggapan Nawasena. Aku merasa dia menginginkan aku terus bicara, "Saya akhirnya dipecat karena sering terlambat masuk kantor. Kerja di kelab memungkinkan saya menjaga Asya siang hari karena baru masuk kerja setelah Asya tidur." Aku menelan ludah dan melanjutkan, "Gajinya bagus dan tip dari tamu juga lumayan."

"Ibu kamu? Ada namanya di kartu keluarga yang kamu kirim ke aku waktu itu."

Aku menggeleng. "Namanya memang ada, tapi secara fisik dia nggak pernah ada untuk Asya. Saya yang membantu Nenek mengasuh Asya sejak lahir. Setelah Nenek nggak ada, Asya menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya."

"Kalau penghasilan kamu dari kelab cukup, kenapa kamu menerima tawaran Fajar?"

Aku menunduk semakin dalam. "Kontrakan kami habis dan pemiliknya tidak mau dibayar bulanan. Dia maunya langsung setahun penuh. Saya nggak mungkin memindahkan Asya di tempat baru dan mulai beradaptasi dari awal lagi kalau pindah ke kos-kosan yang dibayar bulanan. Di kompleks, saya bisa menitipkan Asya untuk diawasi tetangga kalau saya harus keluar rumah. Saya nggak mungkin melakukan hal itu di tempat baru."

"Jadi kamu akan melakukan apa pun demi adik kamu, termasuk menjual keperawanan kamu sendiri? Wow. Kamu benar-benar kakak yang berdedikasi. Adikmu beruntung punya kakak seperti kamu, yang pikirannya jadi pendek saat kepepet. Atau mungkin juga bodoh."

Aku tidak membantah karena itu benar. Aku memang berpikiran pendek dan bodoh saat menerima tawaran Fajar tanpa memperhitungkan pengalaman kerja di bisnis selangkangan. Sedangkan soal keperawanan itu, aku tidak pernah terlalu memperhitungkannya. Setelah kejadian gebetanku yang kabur saat melihat Asya, aku tidak yakin akan menemukan orang yang bisa menerimaku sepaket dengan Asya. Jadi aku tidak pernah serius memikirkan pernikahan. Pikiran menjaga keperawanan untuk malam pertama tidak pernah menjadi prioritas karena pernikahan bagaikan di awang-awang. Saat menerima tawaran Fajar, aku lebih fokus pada dosa daripada takut kehilangan keperawanan. Lagi pula, tidak mungkin membandingkan keperawanan dengan Asya. Adik kesayanganku berada di urutan teratas skala prioritasku.

Sekarang aku merasa wajahku merah padam karena Nawasena ternyata menyadari bahwa aku ternyata belum pernah tidur dengan orang lain sebelumnya. Sikap kaku dan tangisku pasti telah membuka rahasia itu. Atau mungkin juga dia melihat noda sialan di seprai. Atau, dia sudah sangat berpengalaman sehingga bisa dengan mudah membedakan apakah perempuan yang tidur bersamanya masih perawan atau tidak.

Apa pun itu, pembahasan tentang apa yang terjadi semalam sangat tidak menyenangkan. Aku tidak mau membicarakannya.

"Saya... saya mau ke kamar mandi. Boleh saya keluar sekarang?" Aku ingin melarikan diri secepat mungkin.

Nawasena berdeham. "Peristiwa semalam nggak akan terjadi kalau kamu me—"

"Ebi... Ebi...!" teriakan Asya terdengar.

"Asya mencari saya!" Seruku cepat dengan kelegaaan luar biasa. Aku berdiri dan menghambur keluar, merasa terselamatkan oleh panggilan Asya. Dia benar-benar belahan jiwaku karena tahu kapan aku membutuhkan bantuannya untuk lepas dari percakapan yang mengintimidasi dengan Nawasena.

"Hei... aku belum sele—"

Aku sudah berlari mencari Asya.

Aku akan menghadapi Nawasena lagi saat aku sudah lebih siap mental. Saat rasa maluku sudah menguap. Sekarang aku akan mengajak Asya keluar rumah lagi dan baru akan kembali saat Nawasena sudah pulang ke apartemennya. Tidak lama lagi karena dia tidak pernah tinggal lama-lama di rumah ini.

**

Yang mau baca cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Tapi beli koin di web aja karena jauh lebih murah daripada di aplikasi. Jangan nagih di sini atau di IG. Tengkiuuuu.

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang