AKU pikir Nawasena pulang ke apartemen setelah kekesalannya semalam, jadi aku terkejut ketika melihatnya duduk di karpet ruang tengah, berhadapan dengan Asya. Raut keduanya sangat serius, seperti sedang mengerjakan sesuatu yang penting. Kalau dalam film-film, ekspresi seperti itu dipakai untuk menggambarkan seorang raja dan panglimanya yang sedang membahas strategi perang untuk melumpuhkan pertahanan musuh. Lempengan-lempengan plastik berwarna merah muda dan putih gading menumpuk di sisi mereka.
Ini pertama kalinya mereka duduk santai berdua di lantai. Biasanya, pertemuan kami bertiga sebatas terjadi di meja makan saat sarapan, ketika Nawasena mengingap di sini. Interaksi mereka biasanya sebatas obrolan basa basi Nawasena menanyakan kabar Asya. Senyumnya tipis saja. Paling banter, dia menyentuh kepala Asya sejenak untuk mengusap rambutnya. Itupun jarang. Dia mungkin memang terlahir kaku. Atau mungkin karena dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi anak istimewa seperti Asya.
"Ebi... lihat Ebi, rumah Barbie!" Asya berseru gembira saat melihatku. Dia bertepuk tangan. Dia tampak lebih bersemangat daripada saat berhadapan dengan es krim vanila kesukaannya.
Kalau tahu Nawasena menginap, aku tidak akan tinggal lama di kamar dan bersikap seperti tuan putri yang hanya bangun dan keluar kamar ketika merasa lapar.
Aku mendekati mereka dan melihat jika Nawasena sedang membaca petunjuk cara merakit rumah Barbie yang ukurannya superbesar jika dilihat dari dus dan lempengan-lempengan plastik yang akan membentuk rumah itu.
Pelan-pelan, aku duduk di dekat mereka.
"Ini untuk Asya, Mas?" tanyaku berbasa basi. Semoga saja kemarahannya semalam sudah menguap. Mengawali akhir pekan dengan suasana hati yang buruk tidak akan menyenangkan.
"Memangnya kamu atau Mbok Sarti masih mau mainan kayak gini?" gerutu Nawasena. Matanya tetap fokus pada buku petunjuk perakitan. "Ini dasarnya." Dia meraih sebuah lempengan plastik terbesar. "Dan yang itu tiang-tiangnya. Ini nggak akan sulit," katanya pada diri sendiri.
Tentu saja tidak sulit. Perabot di rumah Nenek kebanyakan terbuat dari plastik karena harganya jauh lebih murah daripada perabot kayu. Aku sudah terbiasa merakit lemari plastik tempat baju-bajuku dan Asya, rak susun, tempat sepatu, dan masih banyak lagi. Rumah Nenek adalah contoh rumah yang sangat tidak ramah lingkungan saking banyaknya plastik di sana.
Aku tidak menjawab gumaman Nawasena karena sadar jika dia mungkin saja tidak pernah merakit sesuatu seumur hidup kalau mainan favoritnya di masa kecil bukan lego.
"Biar saya bantu, Mas." Aku hanya perlu melihat buku petunjuknya sekilas untuk tahu cara merakitnya. Tidak butuh waktu lama, rumah utama Barbie itu sudah berdiri sempurna.
"Wah... gede banget, Ebi!" seru Asya takjub. Tepuk tangannya makin kuat. "Sayang Ebi." Dia melompat memelukku.
Aku langsung salah tingkah. "Eh... ini bukan Ebi yang beli, Sya. Bilang makasihnya sama Mas Sena ya."
Asya melihat Nawasena malu-malu lalu menggumamkan kata terima kasih pelan. Nawasena merespons pernyataan Asya dengan usapan di kepala. Dia lalu bangkit dan meninggalkan kami berdua.
"Kita pasang perabotnya yuk, Sya." Aku meraup perabot rumah itu dan mulai mengaturnya bersama Asya.
Untuk perempuan, bermain rumah-rumahan tidak mengenal umur karena kebanyakan perempuan memang menyukai rumah dan perabotnya. Karena aku belum punya rumah sendiri, mengatur rumah barbie pertama Asya sudah cukup menjadi hiburan yang menyenangkan.
Setelah selesai menempatkan perabot rumah barbie Asya, aku lalu meninggalkannya mendadani barbie-barbie barunya dengan baju yang cantik-cantik. Untuk anak seusia Asya yang normal, barbie sebenarnya sudah tidak menarik lagi karena mereka biasanya sudah lebih tertarik pada ponsel dengan segala ajaiban maya yang ditawarkannya. Atau malah sibuk bersosialisasi dengan teman-teman mereka. Tapi untuk Asya yang terjebak dalam tubuh yang mulai berkembang menjadi perempuan, tetapi pikiran yang masih sangat kekanakan, barbie masih membuatnya sangat antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
Fiksi UmumUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...