Dua Puluh Empat

11.8K 2.1K 185
                                    

Ini bonus update-an untuk responsnya yang rame kemaren ya. Tengkiuuu...

**

AKU kesulitan menjelaskan bentuk hubunganku dengan Nawasena kepada Sunny saat akhirnya bertemu dengan sahabatku itu.

Setelah dua akhir pekan aku tidak bisa keluar rumah untuk bertemu Sunny karena Nawasena pulang ke rumah, akhirnya kami sepakat bertemu setelah jam kantor.

"Gue beneran syok saat dengar lo udah nikah. Gue selalu mikir kalau gue yang akan nikah duluan karena fokus lo lebih pada Asya daripada hubungan romantis," kata Sunny setelah kami berpelukan cukup lama. "Suami lo tipe kolot apa cemburuan sih? Kalau dia cemburuan, lo ajak aja sekalian, biar gue kenalan sama dia. Atau gue yang ke rumah kalian kan bisa."

Permintaan Sunny supaya dia yang berkunjung ke rumahku setelah aku terpaksa mengatakan jika suamiku tidak mengizinkan aku keluar, spontan aku tolak. Aku tidak mungkin mengundang temanku saat Nawasena ada di rumah. Aku tidak mau dia beranggapan jika aku tidak tahu batasku sebagai orang yang digaji. Aku juga tidak mau Sunny melihat bagaimana cara Nawasena memperlakukanku. Aku tidak yakin Nawasena akan mendadak berubah manis hanya karena aku kedatangan sahabat.

"Pernikahan kami nggak seperti pernikahan pada umumnya." Aku memang menunggu sampai bertemu muka dengan Sunny untuk menceritakan sejarah pernikahanku dengan Nawasena. Kisahnya terlalu rumit untuk dijelaskan melalui telepon. "Hidup gue berubah total dan jungkir balik setelah Nenek pergi."

Sunny tahu bagaimana hubunganku dengan Ibu, jadi aku tidak perlu menjelaskan bagian itu terlalu detail. Aku fokus pada episode ketika aku di-PHK, bekerja di kafe sampai akhirnya bertemu dengan Fajar dan Nawasena.

"Gue selalu beranggapan kalau di antara semua orang seangkatan kita, kita berdua adalah orang hidupnya datar banget," ucap Sunny. Dia terdiam cukup lama setelah aku menutup kisah tentang alasan Nawasena menikahku. Bahwa aku adalah alat untuk membuat ibu dan mantan pacarnya merana, meskipun rencananya jelas tidak berjalan semulus yang dia harapkan. "Hari-hari kita hanya diisi dengan sekolah dan nongkrong di rumah elo sambil ngawasin Asya biar nenek lo bisa menjaga warung dan menjahit dengan tenang. Atau kita yang jaga warung sambil nemenin Asya main supaya Nenek bisa istirahat kalau dia lagi nggak enak badan. Gue beneran nggak nyangka kalau jalan hidup lo jadi lebih ruwet daripada drama Korea setelah gue tinggal ke Italia. Kenapa lo nggak kepikiran untuk menghubungi gue buat minta tolong saat lo butuh duit?"

Aku mengangkat bahu. Waktu itu hubunganku dengan Sunny memasuki fase yang sangat renggang. Kami sudah cukup lama tidak kontak-kontakkan. Aku bukan tipe orang yang akan mencari sahabat untuk dimintai tolong saat kepepet. Mungkin hanya prasangkaku, tapi tidak ada orang yang senang dihubungi sahabat lama karena butuh uang.

"Gue mencari jalan keluar paling gampang tanpa harus melibatkan orang lain."

"Tapi gue bukan orang lain!" protes Sunny.

"Lo ke Italia dengan beasiswa penuh, Sun. Masa duit buat biaya hidup lo gue minta juga sih? Gue yakin lo juga berusaha sehemat mungkin di sana."

"Tapi di sini kan ada orangtua gue, Bi. Lo sahabat gue sejak kecil. Mereka pasti bisalah bantu kalau hanya uang kontrakan."

Menghubungi Sunny saja aku berat hati, apalagi orangtuanya. "Sudah kejadian, Sun. Udah telat banget untuk berandai-andai sekarang."

"Tapi lo sadar nggak sih kalau dengan nikah kayak gitu lo sama aja dengan jual diri?" kata Sunny blakblakan.

Tentu saja aku sadar. Aku menukar kebebasan, tubuh, harkat dan martabatku sebagai perempuan dengan uang karena itu pilihan paling mudah.

"Itu bodoh banget, Bi!" Sunny lanjut mengomel. "Mungkin banyak orang di luar sana yang akan membuat keputusan seperti itu, tapi seharusnya itu bukan elo!"

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang