"WAKTU lo bilang mau bertahan selama yang lo bisa untuk kenyamanan Asya, jujur gue nggak membayangkan lo dan Asya tinggal di rumah dengan fasilitas kayak gini," kata Sunny setelah mengawasi rumah Nawasena dari sofa ruang tengah tempat kami duduk.
Aku tidak mengajaknya berkeliling karena rasanya aneh saja memamerkan rumah yang bukan milikku, dan hanya akan kutinggali sementara.
"Mungkin gue terlalu melebih-lebihkan saat cerita soal Nawasena." Kurasa aku kelewat bersemangat menceritakan sisi buruk Nawasena pada Sunny karena dia melarang kami bertemu. Waktu itu aku sama sekali tidak kepikiran jika Nawasena malah menganjurkan untuk mengundang sahabatku ke rumah ini. Suasana hati saat ngobrol ternyata bisa membuat isi informasi yang disampaikan jadi bias. "Niatnya menikahi gue memang salah, tapi niat gue menerima tawaran dia juga nggak bisa dianggap benar. Dia nggak sejahat imej yang gue ciptain waktu gue cerita sama elo. Dia sering bikin gue sebel karena merasa dirinya selalu benar, tapi selain itu dia baik kok." Aku berusaha menepis bayangan wajah masam Nawasena sepanjang perjalanan pulang dari mal kemarin. Dia hanya mengantarku sampai di rumah, lalu pergi lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Lagaknya karena aku mengambil alih tugasnya mempermalukanku mirip perempuan PMS. Tapi tak ada kata-kata pedas seperti biasa saat dia jengkel ketika merasa aku terlalu bawel.
"Jangan-jangan...," Sunny memenggal kata-katanya dan menatapku penuh selidik. "Lo jatuh cinta sama dia ya? Hanya orang yang sedang jatuh cinta yang bisa mengubah pendapatnya secepat yang lo lakukan sekarang!"
Aku balik menatap Sunny ketika mendengar tuduhan konyolnya itu. Rasa geli menggelitik perutku. Aku mencoba menahan tawa, tapi gagal. Gelakku pecah. Pelan-pelan, semakin besar, lalu terbahak-bahak. Aku jatuh cinta pada Nawasena yang arogan, tidak mau kalah, dan moody-an itu? Yang benar saja!
Aku tidak pernah memikirkan tentang cinta lagi sejak PDKT yang gagal total dengan teman kerjaku dulu, tapi kalau misalnya aku terperangkap dalam cinta lagi, orang yang aku sukai tidak mungkin seperti Nawasena yang tidak menganggapku penting dan setara dengannya. Sama tidak mungkinnya seperti Nawasena juga menyukaiku seperti dia mencintai mantannya. No way! Mustahil. Standarnya tidak mungkin terjun bebas menjadi perempuan ala kadarnya seperti aku. Orang-orang mengatakan aku cantik. Tapi apalah arti kecantikan untuk laki-laki yang bisa mendapatkan segalanya. Cantik saja tidak cukup. Percuma cantik kalau sama table manner saja buta.
Kami tidur bersama, dan dia tampak menikmatinya, tapi itu wajar. Bukankah bagi laki-laki kepuasan seksual adalah tujuan dari hubungan intim? Tak masalah dia melakukannya dengan siapa karena hasil akhir lebih penting daripada proses. Begitu, kan? Sunny sendiri yang mengatakannya padaku saat berpidato tentang bisnis esek-esek yang menjamur karena lelaki hidung belang yang menjadi pelanggannya juga terus bertambah. Pelanggan yang kebanyakan adalah lelaki yang sudah punya pasangan sah.
"Hei, kenapa lo malah ketawa kayak orang kesurupan gitu?" Sunny memukulku dengan bantalan kursi.
Aku menghapus air mata. Aku tidak ingat kapan terpingkal-pingkal sampai menangis seperti ini. Mungkin sudah seabad lalu. Atau mungkin juga hanya terjadi di kehidupanku yang lalu, sebelum bereinkarnasi menjadi Ebi. Kehidupanku yang sekarang sudah berat sejak aku kecil.
"Gimana gue nggak ketawa kalau omongan lo aneh gitu!"
Sunny mendelik. "Apanya yang aneh? Lo perempuan, dia laki-laki. Lo tinggal bareng dan bercinta sama dia. Lo ha—"
"Dia tinggal di apartemennya," ralatku cepat. "Dia nginap di sini kalau mau tidur sama gue, bukan bercinta." Aku tidak suka membahas soal itu, tapi Sunny harus diberi pencerahan soal perbedaan antara tidur bersama dan bercinta. Yang satu adalah rutinitas semata, sedangkan yang lain adalah kegiatan yang tidak hanya melibatkan hasrat dan gairah, tetapi juga perasaan. Bukan itu yang terjadi antara aku dan Nawasena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
قصص عامةUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...