SABTU pagi adalah saat untuk bermalas-malasan. Apalagi saat haid seperti sekarang. Setelah Asya meninggalkan kamarku untuk bergabung dengan Mbok Sarti dan Bik Ika yang sekarang sudah menjadi sahabat kesayangannya, aku kembali melanjutkan tidur.
Sudah hampir tengah hari saat aku turun. Perutku terasa lebih keroncongan setelah mandi. Kadang-kadang aku merasa bersalah karena begitu gampang mengadaptasi kehidupan ala-ala putri seperti yang kujalani sekarang.
Sebelum tinggal di rumah ini, tidak ada istilah bermalas-malasan karena pekerjaan sudah menunggu begitu aku membuka mata kala subuh sampai tidur kembali menjelang tengah malam. Atau sejak membuka mata di sore hari sampai tidur kembali di pagi hari ketika aku bekerja di kelab. Waktu itu aku tidur bukan karena menginginkannya, tetapi sebagai mekanisme biologis tubuhku yang membutuhkan jeda dari aktivitas. Bukan hanya tubuhku yang perlu diistirahatkan, tetapi juga pikiranku yang penuh dengan kekhawatiran akan kelangsungan hidupku dan Asya.
Di sini, aku tidak perlu mengerjakan atau memikirkan apa pun selain pekerjaan kantor. Keadaan Asya aman, sentosa, dan sejahtera. Adikku itu pun tidak tergantung lagi padaku karena sudah terbiasa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Mbok Sarti dan Bik Ika.
Aroma bumbu kacang yang sedang digiling Mbok Sarti menguar memenuhi udara di dapur. Wangi yang mengingatkan aku pada warung Nenek.
"Pecel, Mbok?" tanyaku basa-basi. Aku mengambil botol air mineral dari kulkas lalu duduk di stool, mengawasi Mbok Sarti yang berjibaku dengan bumbu yang dibuatnya. Dia selalu menolak saat aku menawarkan bantuan sehingga aku sudah menyerah melakukannya. Setelah hubungan kami makin dekat, Mbok Sarti malah mulai berani mengomeliku ketika aku kedapatan mengelap meja atau mencuci piringku sendiri.
"Iya, Mbak. Biar kalau Mbak Asya makan banyak nggak takut gemuk. Kan isinya kebanyakan sayur." Instruksi yang aku sampaikan pada Mbok Sarti dan Bik Ika tentang makanan Asya tidak hanya mereka dengarkan, tetapi juga diaplikasikan dengan baik. Sekarang camilan Asya lebih banyak buah dan dimsum. "Mbak Febi mau sarapan apa?"
"Saya nunggu pecelnya aja, Mbok."
Mbok Sarti meringis menatapku. "Mbak Febi kan kurus. Masa jam segini mau makan pecel aja? Simbok gorengin ayam dan bikinin sayur bening ya? Ayamnya udah diungkep kok. Sayurnya juga udah dibersihin. Tinggal didihin air dan dicempulungin aja. Lima belas menit juga udah siap."
"Masa saya harus nunggu gendut dulu baru boleh makan pecel jam segini sih, Mbok?" aku pura-pura mengomel.
"Mbok Sarti terkekeh. "Tambah montok dikit tetep enak dilihat kok, Mbak. Atau Mas Sena lebih suka badan Mbak Febi segini aja ya? Waktu zaman Simbok muda dulu, yang montok-montok itu yang dianggap paling cantik lho. Kembang desa. Tapi kalau Mas Sena lebih suka Mbak Febi kurus gini, ya jangan dibikin montok."
"Apaan sih, Mbok!" Aku tersipu.
Sebulan terakhir, bukan hanya frekuensi kedatangan Nawasena yang meningkat drastis daripada sebelumnya, tapi juga dia selalu menginap. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelum kami tidur bersama. Meskipun tidak pernah membicarakannya, aku yakin Mbok Sarti dan Bik Ika tahu apa yang terjadi di balik pintu kamar si Bapak Sumbu Pendek itu setiap kali dia menginap di rumah. Candaan Mbok Sarti itu adalah bukti tersirat.
"Tapi kalau udah cinta, gimanapun bentuk tubuh udah nggak masalah sih. Kan lihatnya udah pakai mata batin, bukan mata beneran lagi." Mbok Sarti terus menggodaku. "Simbok senang lihat Mas Sena dan Mbak Febi akur. Semoga aja hubungan Mas Sena dan Ibu juga akan membaik seperti dulu. Simbok sedih lihat mereka sekarang. Dulu mereka dekat banget. Apalagi jarak usia Mas Sena dan adik-adiknya lumayan jauh. Dia lama jadi tumpuan perhatian Ibu sebelum adik-adiknya lahir."
Mbok Sarti jelas salah mengartikan perkembangan hubunganku dengan Nawasena. Kami dekat secara fisik, itu benar. Kami tidur bersama, kan? Saat-saat seperti itu, tidak ada jarak di antara kami. Tapi tidak ada ikatan emosi yang melibatkan perasaan di antara kami. Gairah tidak bisa disebut sebagai ikatan. Itu adalah hal yang spontan terbentuk saat berdekatan dan bisa seketika hilang setelah hasrat terpuaskan. Pertalian emosi yang melibatkan rasa tidak terbentuk dan hilang secara instan. Semuanya terbangun melalui proses. Tapi tidak mungkin membahas masalah itu dengan Mbok Sarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
Ficción GeneralUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...