Tiga Puluh Tujuh

12.2K 2.2K 281
                                    

PUKUL tiga dini hari, aku mengendap-endap turun dari ranjang Nawasena dan kembali ke kamarku sendiri. Aku kebelet kencing. Buang air di kamar mandi Nawasena dan naik ke ranjangnya lagi berpotensi membuatnya terjaga. Lebih baik membiarkannya tetap tidur nyenyak sampai beker biologis tubuhnya membangunkannya.

Masih terlalu subuh untuk mandi, jadi setelah keluar dari kamar mandi, aku berbaring sambil membuka laptop untuk melihat-lihat iklan properti. Harga rumah tapak di tempat yang strategis jelas di luar jangkauanku. Tapi tidak ada salahnya melihat-lihat sambil menyimulasi pendanaannya kalau aku mengambil KPR. Cicilannya tidak akan mencekik leher kalau aku bisa memasukkan uang muka lumayan banyak. Rumah kontrakan tidak lagi jadi opsi bagiku. Harus rumah sendiri supaya kami tidak perlu pindah-pindah lagi. Tipe 42 sudah lebih dari cukup. Aku dan Asya tidak perlu rumah yang terlalu besar. Dengan tipe seperti itu, setelah direnovasi, akan bisa dibuat sebuah kamar lagi untuk Bik Ika kalau dia bersedia ikut kami. Aku tidak mungkin mengajak Mbok Sarti juga. Selain tidak punya uang untuk membayar gajinya, dia juga sudah terikat dengan Nawasena yang sudah diasuhnya sejak kecil.

Aku menguap. Kantuk kembali menyerangku. Tapi aku tidak mau tertidur lagi. Hari ini adalah jadwal ke dokter Asya. Aku tidak lagi menggunakan fasilitas JKN sehingga lebih leluasa mengatur jadwal pertemuan dengan dokter karena tidak terkendala sistem rujukan lagi. Aku bisa mendapatkan janji pertemuan di hari Sabtu saat aku tidak ke kantor sehingga tidak mengganggu pekerjaanku. Uang memang memiliki kekuasaan yang luar biasa. Karena itulah aku sangat mencintainya, walaupun tidak melebihi cintaku pada Asya.

Pintu kamarku mendadak terkuak dan Nawasena masuk dengan tampang mengantuk. "Kenapa pindah ke sini?" Dia ikut naik ke atas ranjangku sehingga aku beringsut untuk memberinya ruang. "Aku kan sudah bilang kalau aku nggak suka ditinggalkan kalau sedang tidur. Besok, minta supaya Bik Ika pindahin barang-barang kamu yang ada di sini ke kamarku supaya kamu nggak tiba-tiba menghilang saat aku bangun."

Aku mengernyit. "Bukannya Mas pernah bilang bahwa saya boleh pilih tinggal di kamar mana saja asal tidak di kamar Mas?"

"Aku pernah bilang begitu?" Nawasena tampak berpikir, tapi aku tahu itu hanya pura-pura. "Ya sudah, anggap saja kata-kata itu aku cabut lagi." Dia menarik laptopku. "Kamu nggak dibayar kantormu untuk lembur jam segini. Eh, untuk apa kamu lihat-lihat rumah?" Nawasena melihat layar yang masih menyala.

Aku tersipu karena tertangkap basah melihat rumah yang jelas-jelas jauh di atas kemampuanku.

"Window shopping aja, Mas. Sekarang sih belum bisa kebeli karena cicilannya pasti masih tinggi dengan uang muka yang bisa saya masukin."

Nawasena menutup laptopku dan meletakkannya di atas Nakas. "Kamu beneran sudah mempersiapkan hidup kamu setelah perpisahan kita walaupun kamu nggak tahu kapan kita akan berpisah?"

"Mas nggak tahu rasanya hidup tanpa persiapan," gerutuku. Aku tidak siap dengan rencana cadangan ketika Nenek berpulang sehingga aku harus kehilangan pekerjaan juga karena tidak ada yang mengawasi Asya. Aku tidak mengantisipasi gerakan cepat Ibu yang menjual rumah Nenek dan menggunakan uangnya untuk bersenang-senang. "Saya kehilangan banyak hal karena nggak siap ketika cobaan datang. Saya nggak mau hal itu terjadi lagi. Cukup sekali saja saya harus menawarkan tubuh saya pada orang yang mau ngasih uang. Saya nggak mau merasakan perasaan putus asa seperti itu lagi. Saya memang beruntung karena akhirnya bertemu Mas, tapi keajaiban nggak akan terjadi dua kali. Mas nggak tahu gimana rasanya hidup dengan menggadaikan harga diri." Aku terdiam setelah sadar sudah bicara terlalu banyak di waktu dini hari seperti sekarang. "Maaf. Saya malah curhat padahal tahu kalau Mas nggak tertarik mendengar kisah hidup saya. Kalau Mas mau balik ke kamar Mas, saya akan temenin. Mas masih bisa tidur lagi. Sekarang baru setengah empat."

"Aku bisa tidur di sini aja kok." Nawasena memiringkan tubuh menghadapku. Aku memilih tetap telentang. Menatap langit-langit lebih menyenangkan daripada mengawasi wajahnya yang pasti sedang mengasihaniku. "Kenapa kamu dan Asya nggak tinggal bersama ibu kalian?"

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang