AKU melupakan kotak bekalku di rumah sehingga ikut makan siang bersama Wika, Mbak Sri, sekretaris direktur dan Mbak Mega, manajer HRD. Ini pertama kalinya aku makan siang bersama orang yang tidak satu divisi denganku. Sepertinya mereka akrab dengan Wika.
"Wah, jagoan gue udah mulai aktif bergerak nih." Mbak Mega meletakkan tangannya di perutnya yang sedikit membuncit. Dia memang sedang hamil. "Hamil anak perempuan dan laki-laki kayak gini rasanya agak beda sih."
"Mayazza kan baru setahun, Ga. Apa nggak repot banget punya anak yang umurnya deketan banget kayak gitu?" tanya Mbak Sri. "Harus punya dua pengasuh biar yang ngurusin nggak keteteran, kan? Umur kayak gitu anak masih sangat demanding. Kerjaan lo kan bagus, sayang kalau harus resign ngurus anak. Emang sengaja punya anak beruntun biar nggak ada gap umur?"
Mbak Mega terkekeh. "Gue malah penginnya jarak anak gue tuh lima tahun, biar ngatur keuangannya juga bagus. Punya anak zaman sekarang kan biayanya mahal, apalagi kalau harus pakai pengasuh kayak gue. Tapi kalau kebobolan, masa harus dikuret? Dosa lho. Anak kan rezeki."
"Kok bisa kebobolan? Emang lo nggak KB? Suntik, pil, kondom, atau sekalian IUD biar nggak repot."
Mbak Mega meringis. "Gue pikir, karena gue ngasih ASI eksklusif dan ASI gue luber sampai sekulkas-kulkas, gue aman. Teorinya, ASI eksklusif kan bisa jadi alkon alami. Tapi ternyata teori itu nggak mempan sama gue."
"Kalau keluarnya di dalam, ya kemungkinan hamilnya tetap ada sih, Ga." Mbak Sri mengedipkan sebelah mata. "Tapi kalau udah keenakan, mana ingat mau dikeluarin di luar, kan?"
Mereka tertawa, tapi aku malah tersedak.
"Duh, yang perawan mah masih malu-malu," ledek Mbak Mega. "Tapi itu pengalaman yang harus lo semua ingat, biar nanti nggak kebobolan kayak gue kalau memang mau ngatur jarak umur anak."
Dalam perjalanan pulang, aku masih terbayang percakapan yang terjadi saat makan siang tadi. Mungkin aku terlalu naif sehingga tidak memikirkan kemungkinan hamil sebelum hari ini. Aku aktif secara seksual. Nawasena hanya menggunakan pengaman di awal-awal kami berhubungan. Setelah itu tidak pernah lagi. Mungkin karena dia sudah yakin jika aku tidak punya penyakit yang bisa menularinya sebagai konsekuensi berhubungan intim denganku.
Aku yakin Nawasena juga tidak berpikir jauh. Aku bukanlah istri yang dia pilih dengan alasan cinta, jadi mustahil mengharapkan aku mengandung dan melahirkan anaknya. Tugas mulia itu seharusnya diemban istri keduanya, bukan aku.
Aku juga tidak boleh hamil karena aku tidak yakin sanggup mengurus anak lain sementara harus tetap fokus mengawasi Asya. Tidak akan adil bagi calon anakku dan Asya jika perhatianku harus terbagi. Tidak... aku tidak bisa mengemban tanggung jawab sebesar itu. Aku tidak mau berakhir menjadi orangtua seperti ibuku yang akhirnya memilih lalai dari kewajiban karena merasa terlalu berat untuk dijalani.
Pikiran itu membuatku akhirnya mampir di salah satu apotek. Aku menekan rasa malu saat membeli sekotak kondom. Cukup satu. Aku akan mengingatkan Nawasena tentang risiko berhubungan tanpa pengaman yang dilewatkan oleh otaknya yang katanya besar itu. Selanjutnya, dialah yang harus menyediakannya.
Bukan masalah harga kondom itu, tapi perasaan risi ketika membelinya. Petugas apoteknya memang tidak mengatakan apa-apa, tapi aku tetap malu. Rasanya seperti membuat pengumuman kalau aku menyiapkan pengaman karena takut hamil. Itu sama saja dengan mengakui jika laki-laki yang tidur denganku tidak menginginkan hal yang sama. Orang bisa berpikiran jika aku belum menikah, tapi aktif secara seksual. Seharusnya aku tidak perlu memikirkan hal itu, toh petugas apotek itu orang asing, dan apa pun yang dia pikirkan tidak penting. Tapi aku tetap saja malu.
**
Nawasena sedang duduk bersandar di kepala ranjang sambil menekuri iPad di pangkuannya saat aku keluar dari kamar mandi. Dia selalu pulang ke rumah sejak kami dari Puncak. Dia sepertinya mulai menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi hanya pulang untuk menuntut haknya sebagai suami jadi-jadian, karena kami tidak pernah berhubungan lagi setelah yang terakhir kali di Puncak. Dia tidur di kamarnya, sedangkan aku juga tidur di sini, di kamarku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
General FictionUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...