Tiga Puluh

12.5K 2.1K 328
                                    

Aku mengetuk pintu kamar Nawasena. Dia pulang ke rumah, jadi ini adalah kesempatan minta izin secara langsung untuk mengikuti family gathering yang diadakan kantor. Semoga saja suasana hatinya bagus dan sudah melupakan kemarahannya karena peristiwa di mal beberapa hari lalu.

Aku menguak pintu setelah mendengarnya menyuruhku masuk.

"Mas, boleh ngomong sebentar?" tanyaku setelah berdiri di depan Nawasena yang sibuk memelototi iPad di pangkuannya. Dia duduk di sofa.

"Hmmm...." Nawasena tidak merasa perlu melihatku.

"Kantor saya bikin acara gathering di Puncak."

"Hmmm...."

"Saya staf baru, jadi harus sibuk-sibuk ngurusin acaranya. Jadi panitia gitu, Mas."

"Hmmm...."

"Kami berangkat Sabtu subuh dan pulang Minggu sore."

"Hmmm...."

"Terima kasih udah dikasih izin, Mas." Aku membalikkan badan, siap keluar kamar. Senyumku melebar. Ternyata mendapatkan izinnya sangat gampang. Aku tahu dia pasti mengizinkan, tapi tidak menduga akan langsung mendapatkannya tanpa pertanyaan sama sekali.

"Siapa yang bilang aku ngasih izin?"

"Apa?" Aku berbalik menghadap Nawasena. Baru juga senang, sudah dibikin nelangsa.

"Apanya yang apa?" Nawasena melepaskan iPad-nya dan menatapku. "Kamu minta izin, kan? Jadi terserah aku mau ngasih izin atau tidak, kan?"

"Sebenarnya saya hanya ngasih tahu, bukan minta izin, Mas," ralatku. "Saya harus ikut acara itu."

"Memangnya acaranya akan batal kalau kamu nggak ikut? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu staf baru, jadi keberadaan kamu di perusahaan nggak sepenting yang kamu pikir."

Aku mendesah sebal. "Ini bukan masalah status saya di kantor penting atau tidak, Mas. Acaranya juga nggak akan batal kalau saya nggak ikut. Tapi karena saya panitia inti yang handle banyak kegiatan, saya akan jadi bahan pembicaraan kalau nggak ikut. Saya akan dianggap nggak bertanggung dan nggak bisa dipercaya. Saya nggak seperti itu dan nggak mau dianggap begitu."

"Jadi kamu akan tetap pergi meskipun aku nggak kasih izin?"

"Pemberitahuan, Mas," ulangku. "Dan iya, saya akan tetap pergi meskipun Mas nggak kasih izin. Tapi saya harap Mas mau ngasih izin, supaya saya perginya juga enak."

Nawasena bersandar santai di punggung sofa. "Semua pegawai di kantor kamu ikut?"

"Semua, Mas!" seruku penuh semangat. Nawasena tampak melunak. "Termasuk keluarga mereka. Ini family gathering."

"Berarti aku juga boleh ikut dong?"

Aku membelalak. "Tentu saja tidak!" Astaga, yang benar saja!

Nawasena bersedekap. "Kenapa tidak? Aku suamimu."

Aku menatapnya ngeri. "Orang kantor nggak ada yang tahu kalau saya sudah menikah. Apalagi menikahnya sama Mas. Apa kata Pak Rigen nanti?"

"Memangnya apa hubungannya pernikahan kita sama Rigen?"

Aku mengibas-ngibaskan tangan, panik. "Mas pura-pura nggak kenal saya di depannya. Lalu tiba-tiba aja Mas muncul dan bilang kita sudah menikah. Itu sama saja dengan berbohong dan menipunya. Saya nggak mau dianggap membohongi bos sendiri! Pak Rigen pasti merasa dikerjai dan saya juga akan merasa nggak enak. Saya juga malas menjelaskan alasan perpisahan saya dengan Mas pada teman-teman kantor kalau itu terjadi dalam waktu dekat. Jadi Mas nggak boleh ikut!"

"Tapi aku juga malas tinggal di rumah saat weekend kalau kamu nggak ada. Setelah aku pikir-pikir, libur di Puncak juga akan menyenangkan."

"Mas pasti tahu cara menghabiskan waktu saat weekend tanpa harus tinggal di rumah. Mas bisa ketemu teman-teman Mas." Aku menawarkan alternatif.

"Tapi aku lebih suka menghabiskan weekend bersama kamu seperti biasanya."

"Tapi biasanya kita nggak ke mana-mana saat weekend. Kita hanya...." Masa aku harus menyebutkan kegiatan yang kami lakukan untuk menghabiskan akhir pekan? Jangan memikirkannya, aku menghardik pikiranku. Aku menggeleng-geleng. Nawasena pasti hanya mempermainkan aku. "Ya sudah, Mas ke Puncak saja. Asal jangan ikut rombongan kantor saya. Mas pergi sama teman-teman Mas saja," kataku berani. Saat terdesak, orang selalu akan menemukan keberanian yang tersembunyi sekalipun.

"Kamu masih haid?" pertanyaan Nawasena melenceng jauh dari topik yang kami bicarakan.

Aku menggeleng. Siklusnya sudah selesai dua hari lalu. "Saya boleh pergi ya, Mas?" pintaku memelas.

"Katanya kamu nggak butuh izin. Hanya pemberitahuan saja. Sekarang kok balik minta izin lagi sih?" Nawasena menarik tanganku sehingga aku terduduk di pangkuannya. Dia mengunciku dalam pelukannya.

"Mas, saya susah payah mendapatkan pekerjaan saya yang sekarang. Saya nggak mau kehilangan pekerjaan karena dianggap nggak profesional dan nggak bisa mempertanggungjawabkan tugas yang sudah diberikan pada saya." Aku berusaha membebaskan diri dari pelukannya, tapi tangannya yang melingkar di perutku tidak bisa kusingkirkan. "Mas nggak tahu pentingnya pekerjaan ini untuk saya. Saya harus bekerja supaya roda hidup saya dan Asya tetap berputar."

"Apa uang yang aku transfer ke rekeningmu setiap bulan masih kurang? Aku nggak tahu persis berapa gaji karyawan baru, tapi sepertinya nggak bermakna dibandingkan dengan yang aku kasih untuk kamu setiap bulan." Bibir Nawasena hinggap di bahuku setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Yang Mas kasih sangat banyak." Notifikasi M-banking dari Nawasena bulan membuatku terkejut karena jumlahnya lebih besar daripada biasanya. "Itu tabungan untuk masa depan saya dan Asya. Tapi saya tetap harus punya pekerjaan setelah berpisah dengan Mas."

"Kamu selalu bersemangat setiap kali membicarakan perpisahan kita, padahal kamu nggak tahu pasti kapan kita akan berpisah. Bisa saja kita nggak akan berpisah, kan?"

Tanpa sadar aku berdecak. "Kita pasti akan berpisah kalau Mas sudah bosan sama saya." Aku berdiri saat Nawasena melepaskan pelukannya. Tapi kebebasanku tidak berumur panjang. Detik berikutnya Nawasena kembali menarikku. Kali ini aku terjatuh di sisinya. Dia mendorongku hingga terbaring di sofa.

Nawasena memerangkap kedua tanganku di sisi kepalaku. Aku mengawasi wajahnya yang mendekat sampai akhirnya aku kehilangan titik fokus dari bola matanya ketika bibirnya mendarat di bibirku. Ciumannya membungkam kata-kata yang hendak aku lepaskan.

Dari bibir, ciuman Nawasena bergerak turun menyusur dagu, rahang, dan berlama-lama di leherku.

"Saya boleh pergi kan, Mas?" Aku menggunakan kesempatan itu untuk bertanya. Mungkin saja saat terbakar gairah, Nawasena jadi malas mendebatku.

Nawasena melepaskan ciumannya. "Nanti aja kita omongin. Berhenti bicara tentang urusan kantormu dan ikuti saja apa yang aku katakan."

Semua perintahnya kemudian membuat telinga dan wajahku memerah, tapi demi tiket ke Puncak, aku berusaha menjalankan instruksinya sebaik mungkin.

Di antara desah napas kami yang berat dan memburu, aku menyadari satu hal. Ternyata laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Nyatanya aku dan Nawasena bisa menikmati hubungan intim seperti ini tanpa harus diikat oleh perasaan cinta. Mungkin saja cinta antara perempuan dan laki-laki itu hanya ilusi karena aku belum pernah benar-benar mengalaminya. Aku pernah menangis dan tertawa karena cintaku pada Nenek dan Asya, tapi tidak pernah merasakan hal yang sama pada laki-laki mana pun.

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang