KE kamarku sekarang. 5021.
Aku langsung cemberut saat membaca pesan itu. Ternyata Nawasena bisa mengirim pesan, tapi tidak mempertimbangkan untuk membalas pesanku yang bertubi-tubi tadi siang.
Nggak bisa, Mas. Teman-teman saya akan tanya saya ke mana kalau saya keluar kamar.
Sebagai panitia, kami berusaha mengefisienkan biaya. Salah satu caranya adalah dengan memakai kamar yang seharusnya untuk dua orang menjadi 4 orang seperti sekarang. Wika dan Dita sebagai senior tidur di ranjang, sedangkan aku dan seorang teman lain kebagian kasur tambahan di bawah.
Dengan kondisi seperti itu, aku tidak mungkin menyelinap keluar kamar tanpa ketahuan tiga orang yang lain. Apalagi mereka masih asyik ngobrol meskipun sudah pukul sepuluh lewat.
Mau pakai alasan apa untuk keluar kamar? Tidak mungkin ke toilet karena ada kamar mandi di dalam kamar. Kalau aku bilang mau beli camilan supaya bisa keluar agak lama, bagaimana kalau mereka mau ikut? Kalaupun mereka tidak ikut, berarti aku harus membawa camilan saat kembali ke kamar, kan? Tidak mungkin ada camilan di kamar Nawasena karena dia hanya makan makanan sehat.
Harus bisa. Sekarang!
Dasar diktator! Aku mengomel dalam hati.
Besok aja, Mas. Di rumah.
Aku sudah bisa menduga alasannya memanggilku. Apalagi kalau bukan itu. Hubungan kami sebatas hal itu saja. Tidak mungkin dia mengajakku ngobrol soal perang Rusia-Ukraina, atau membahas masalah inflasi yang mengancam setelah kenaikan BBM.
Kamu datang sekarang, atau aku yang samperin kamu ke situ?
Aku tersenyum mengejek. Toh tidak bisa dia lihat. Mas nggak tahu kamarku.
Kamu pikir aku nggak bisa cari tahu? Ya sudah, tungggu di situ.
Senyumku menghilang. Dasar pemeras! Dia tahu persis kalau aku tidak mau teman-temanku tahu hubungan kami.
Saya ke situ sekarang.
Aku tidak punya pilihan. Aku bangkit dari posisi berbaring. "Saya keluar dulu ya, Mbak," pamitku pada Wika dan teman lain.
"Mau ke mana, Bi? Udah malam lho. Dingin banget di luar."
Aku mengangkat ponsel. "Mau teleponan dulu, Mbak."
"Kalau mau teleponan sambil cup...cup...muah...muah, di sini aja. Nanti kita pura-pura nggak dengar," sambung Dita. "Asal jangan VCS aja. Bahaya. Bisa-bisa lo sengaja direkam, dan rekamannya disebar pas lo putus. Terus rekaman bugil lo saat sedang mendesah di depan kamera itu tersebar di situs porno yang diakses orang di seluruh dunia."
"Bagus kalau hanya dijadiin bahan tontonan doang. Badan Febi kan bagus. Nggak malu-maluin. Yang bahaya itu kalau dia malah berurusan dengan polisi gegara rekaman itu. Kena undang-undang pornografi kayak kasus yang rame kemarin."
Aku hanya tersenyum mendengar gurauan itu. Setelah mengambil kunci cadangan untuk akses lift, aku bergegas keluar. Aku merasa seperti penjahat yang sedang menjalankan aksi saat celingak-celinguk untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada teman kantor yang melihatku saat mengetuk pintu kamar Nawasena.
Aku menerobos masuk melewati Nawasena yang membuka pintu. Sebenarnya apa yang kulakukan tidak salah, tapi rasanya tetap seperti maling.
"Kenapa kayak orang panik gitu?" tanya Nawasena. "Ada yang godain dan ngikutin kamu dari lift?" Dia hendak melongok saat aku tarik.
"Jangan ngintip, Mas!" cegahku. "Nanti kelihatan orang. Mungkin aja ada teman-teman saya yang kebetulan lihat saya tadi masuk ke sini."
Nawasena menutup pintu lalu bersedekap menatapku dengan sorot mengejek seperti biasa. "Kenapa kamu harus takut kelihatan orang lain saat masuk dalam kamar suamimu sendiri? Kamu nggak sedang berselingkuh dengan orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
Fiksi UmumUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...