Tiga Puluh Satu

12.1K 2.1K 189
                                    

PENGALAMAN bersekolah sambil membantu Nenek dan mengasuh Asya sejak kecil membuatku tidak kewalahan diangkat menjadi seksi sibuk yang mondar-mandir ke sana kemari mengurus acara gathering. Dengan senang hati aku mengambil alih tugas teman yang mengeluh kecapean.

"Jangan terlalu baik hati," omel Wika. "Semua orang sudah punya tugas sendiri, nggak bisa seenaknya dilimpahin sama elo hanya karena lo anak baru dan mau membantu."

"Nggak apa-apa kok, Mbak. Bukan tugas berat juga. Palingan cuman memfasilitasi komplain dan kebutuhan peserta aja sama petugas hotel."

Rombongan kantor kami sudah sampai di Puncak beberapa jam lalu. Peserta gathering diberi kesempatan untuk menikmati waktu bersama keluarga karena kegiatan untuk menjalin keakraban baru akan dimulai setelah makan siang.

"Kalau lo beneran jadian sama Pak Rigen, mereka nggak bakalan berani nyuruh-nyuruh lo ngerjain tugas mereka." Wika melanjutkan omelannya.

Aku melirik sekelilingku panik. Wika masih saja memikirkan kemungkinan menjodohkanku dengan Pak Rigen. Fandom Pak Rigen di kantor bisa mencibirku kalau sampai mendengar kata-kata Wika. "Sssttt, Mbak. Jangan diomongin lagi. Saya kan udah punya pacar." Aku buru-buru memeluk buku cacatan berisi kegiatan outdoor yang akan diadakan sore hari nanti dan meninggalkan Wika sebelum imajinasinya semakin menggila.

"Hei, mau ke mana?" Wika mengikutiku.

"Mau ngecek alat dan bahan yang mau dipakai lomba, Mbak." Tidak mungkin mengatakan bahwa aku menghindarinya karena enggan membicarakan Pak Rigen. "Mau saya taruh di luar aja biar nggak repot nyarinya kalau lombanya dimulai."

Ternyata Wika sedang mencari teman ngobrol karena dia mengikutiku mengecek peralatan lomba. Dia malah membantu mengangkat barang-barang tersebut ke area terbuka tempat kami akan memusatkan kegiatan sore ini sampai besok siang.

"Eh, itu Pak Rigen!" seru Wika. "Panjang umur. Baru diomongin udah muncul aja. Sama siapa tuh?"

Aku tidak berniat menoleh, jadi pura-pura sibuk mencocokkan catatan dengan peralatan di depanku.

"Kalau lo beneran nggak berminat sama Pak Rigen, seharusnya pacar lo sekeren orang-orang yang lagi ngobrol sama Pak Rigen itu, Bi. Sayangnya gue tipe setia, jadi nggak akan tergoda walaupun mereka tipe gue banget. Jantan, Bi."

Memangnya hewan, sampai harus pakai kata "jantan" segala! Keren, cakep, ganteng toh sudah cukup. Aku menggerutu dalam hati, tapi terus pura-pura sibuk menghitung barang yang tidak seberapa itu.

"Cowok-cowok sekarang kan banyak yang kesannya manis, jadi lihatnya kayak kurang ggrrr gitu lho, Bi."

Aku nyaris memutar bola mata mendengar istilah Wika. Seharusnya dia segera menikah supaya sibuk dengan suami dan rumah tangganya sehingga tidak punya waktu untuk mengurusi kisah cinta teman kantornya.

"Bi, lihat dong, Bi." Wika mencolek lenganku. "Cuci mata itu nggak sebatas hanya window shopping lihatin barang branded yang nggak akan sanggup kita beli, tapi juga melototin cowok-cowok yang hanya bisa kita miliki dalam fantasi liar kita aja."

Aku mengembuskan napas pasrah. Untuk menghentikan komentar Wika, aku terpaksa ikut menoleh ke arah pandangan Wika berlabuh.

Sialan! Aku langsung ngumpet di belakang Wika meskipun itu bukan tempat ideal untuk menyembunyikan tubuhku. Yang sedang ngobrol dengan Pak Rigen adalah Nawasena dan Genta.

Aku benar-benar tidak menyangka dia akan ke sini. Aku memang menyebutkan tempat kami menginap ketika dia menanyakannya, tapi aku pikir dia hanya ingin tahu, bukan menyusul. Mungkin dia datang refresing, bukan untuk menemuiku karena dia bersama temannya, tapi aku tetap saja panik. Bagaimana harus menghadapinya di depan Pak Rigen?

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang