Aku merasa lega setelah tahu Nawasena tidak tertarik secara fisik padaku. Dia tidak punya keinginan untuk menjadikan aku sebagai budak nafsu seperti yang selama ini aku pikir. Aku jadi tidak khawatir lagi ketika dia datang. Kalaupun pulang, itu pasti karena dia mengambil sesuatu dari kamar atau ruang kerjanya, bukan karena butuh penyaluran kebutuhan biologis.
Tapi aku juga menyadari bahwa usia pernikahan kami tidak akan lama. Setelah dia berhasil mengatasi sakit hati dan masalah dengan ibunya (apa pun itu), dia pasti akan memikirkan kemungkinan untuk membangun tumah tangga sebenarnya, dengan orang yang dicintainya. Orang yang jelas bukan aku. Dari caranya memperkenalkan aku pada ibunya, aku tahu jika Nawasena tidak berbeda dengan orang lain yang menganggapku sebagai pekerja kelab plus-plus.
Meskipun itu tidak benar, aku tidak tersinggung. Aku maklum. Aku juga tidak bermaksud menjelaskan alasanku bekerja di kelab, dan bahwa aku tidak pernah bertemu pelanggan di luar kelab. Untuk apa? Hal itu toh tidak akan mengubah bentuk hubungan kami.
Kesadaran tentang usia pernikahan yang singkat membuat aku mulai merancang masa depanku dan Asya. Aku akan mencari pekerjaan. Aku tidak perlu khawatir tentang Asya karena dia sudah mulai bersekolah lagi dengan ditunggui Bik Ika.
Uang pemberian Nawasena cukup sebagai modal memulai kehidupan yang lebih kokoh kelak. Setelah bekerja, aku bisa membujuk Bik Ika untuk ikut aku seandainya aku dan Nawasena sudah bercerai. Dengan adanya Bik Ika, aku akan fokus bekerja. Hidupku dan Asya pasti terjamin.
Semangat itu membuatku langsung berdesakan dengan ribuan pencari kerja lain saat job fair dibuka. Akhirnya aku punya kesempatan untuk bekerja sesuai dasar keilmuanku setelah pernah dipecat dan terpuruk karena kondisi yang tidak ideal dalam keluargaku.
Saat lamaranku akhirnya diterima oleh salah satu perusahaan yang kutarget, aku berpikir untuk memberi tahu Nawasena. Tapi aku akhirnya membatalkannya karena yakin dia tidak akan peduli pada urusanku. Pada urusan rumah ini saja dia tidak mau ikut campur, apalagi kalau menyangkut hal yang sifatnya pribadi.
**
Ritme baru kehidupanku sebagai wanita pekerja mulai terbentuk setelah sebulan berkantor. Aku bekerja sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan otomotif yang cukup besar di Jakarta.
Aku bisa melakukan pekerjaanku dengan baik dan fokus karena tahu Asya berada di tangan yang tepat. Setelah terbiasa mengurus Asya sendirian, mulanya agak sulit mendelegasikan pekerjaan itu kepada orang lain meskipun tahu Mbok Sarti dan Bik Ika sangat menyayanginya. Kedekatan mereka dengan Asya terkadang membuatku iri. Bik Ika selalu menemani Asya tidur, dan baru akan pindah setelah aku memintanya karena ingin bersama Asya juga. Waktuku bersama Asya baru penuh saat akhir pekan, saat kami sama-sama di rumah saja.
"Bi, ikut kita makan di luar ya," ajak Wika, salah seorang rekan kerjaku. "Pak Rigen ulang tahun, jadi dia traktir makan siang. Kita sama anak marketing. Pak Rigen pernah di sana sebelum pindah ke divisi ini."
Biasanya aku tidak makan di luar karena membawa bekal untuk mengurangi pengeluaran. Aku sudah menerima transfer bulanan dari Nawasena, dan jumlahnya sangat besar untuk ukuranku. Tapi karena aku sudah bertekad hidup sehemat mungkin demi masa depanku bersama Asya, aku tidak akan mengeluarkan uang untuk hal yang tidak perlu. Lagi pula, masakan Mbok Sarti sangat enak, dan dia bersemangat untuk menyiapkan bekalku setiap pagi.
"Baik, Mbak." Aku tidak mungkin menolak. Pak Rigen adalah manajer kami. Tidak mungkinlah ada staf yang menolak ikut merayakan ulang tahun bosnya.
"Kita urunan buat beli kue ultah nih. Lo mau ikutan nyumbang ya."
Aku mengeluarkan dompet dan membayar sejumlah uang yang disebutkan Wika. Tidak banyak karena dibagi rata oleh beberapa orang.
Pak Rigen mentraktir makan di salah satu restoran di mal. Aku menumpang di mobilnya bersama tiga orang rekan laki-laki, sementara Wika dan dua teman perempuan lain pergi lebih dulu untuk membeli kue ulang tahun.
Sebenarnya aku hendak naik motor sendiri, tapi Pak Rigen mengajakku ikut di mobilnya. Aku tidak menolak karena ada rekan lain, jadi suasananya tidak akan secanggung seandainya kami hanya berdua. Sebagai staf baru, aku belum terlalu sering berinteraksi dengan Pak Rigen sehingga komunikasi kami masih sangat formal.
Wika dan teman-teman yang pergi bersamanya belum ada saat kami sampai di restoran yang kami sepakati. Aku duduk diam mengikuti percakapan yang terjadi di meja kami tanpa niat menyela. Sebagai anak baru, aku tidak ingin dianggap sok akrab.
"Sebentar ya," kata Pak Rigen sembari berdiri. "Di meja sana ada teman saya. Saya ke sana dulu."
Seperti teman-teman lain, aku spontan menoleh, mengikuti langkah Pak Rigen dengan pandangan. Jantungku spontan berhenti berdetak mengenali salah satu dari empat orang di meja yang dihampiri Pak Rigen. Nawasena.
Mungkin karena merasa diperhatikan, Nawasena juga menoleh ke meja kami. Mata kami bertaut beberapa detik sebelum dia mengalihkan pandangan. Aku juga buru-buru menatap layar ponsel supaya terlihat sibuk.
Wika sudah datang dengan kue ulang tahun lumayan besar saat Pak Rigen kembali ke meja kami. Suasana jadi sedikit heboh karena ucapan selamat ulang tahun dan acara tiup lilin. Aku bisa melihat jika meja kami menjadi perhatian pengunjung restoran. Aku tidak berani menoleh ke meja Nawasena untuk melihat apakah dia juga melihat ke meja kami.
Sampai acara makan siang itu selesai, Pak Rigen tidak menyinggung soal teman-temannya, jadi aku yakin Nawasena tidak menyebut-nyebut tentang aku. Wajar sih. Kalau aku hanya berfungsi sebagai alat balas dendam pada ibunya, kenapa juga dia harus membeberkan hubungan kami pada dunia, kan?
**
Malamnya, saat aku sudah selesai makan dan bersiap naik ke kamar, Nawasena tiba-tiba muncul di rumah. Tidak seperti biasa, kali ini dia tidak langsung ke kamarnya atau ruang kerja, tapi menghampiriku.
"Kita bicara sebentar," katanya datar.
Aku ikut duduk, mengambil jarak sejauh mungkin darinya. Aku yakin dia juga tidak mau dekat-dekat denganku. Aku mengerti arti kalimat-kalimat tersirat yang dia ucapkan pada ibunya tentang aku.
"Tadi Rigen bilang dia ngerayain uang tahun dengan stafnya," lanjutnya tanpa basa basi. "Sejak kapan kamu bekerja di kantornya?"
"Sudah sebulan lebih, Mas," sahutku pelan. "Saya nggak bilang sama Mas, karena Mas pasti nggak mau tahu tentang urusan saya."
"Kenapa kamu bekerja? Uang yang aku kasih nggak cukup?" tanya Nawaswna beruntun.
Apakah aku harus menjawab jujur bahwa aku butuh kepastian finansial di masa depan, karena aku tidak akan terus tinggal di rumah ini? Umurku sebagai tameng sakit hati pasti tidak akan lama.
"Asya udah diawasin Bik Ika, Mas. Jadi aku udah bisa kerja tanpa khawatir dia telantar." Itu juga jawaban jujur.
"Kamu naik taksi ke kantor?"
Itu jenis pemborosan lain yang tidak akan kulakukan. "Naik motor, Mas."
"Aku sudah pernah bilang, bahwa selama status kamu masih sebagai istriku, aku nggak akan membiarkan kamu kekurangan uang. Kalau kamu butuh lebih, bilang saja."
"Saya nggak butuh lebih, Mas," sahutku cepat. "Yang Mas kasih sudah lebih dari cukup. Saya bekerja supaya punya kesibukan lain, karena Asya juga sekolah sampai sore."
"Ya sudah, terserah kamu saja." Dia beranjak dari duduknya dan menghilang di ruang kerjanya.
Aku mengembuskan napas panjang. Aku selalu merasa lega setelah mengakhiri percakapan dengan Nawasena. Auranya terasa mengintimidasi. Frekuensi pertemuan kami yang terus bertambah tidak bisa menghilangkan kesungkanan itu.
**
Buat yang pengin baca lebih cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat. Tengkiuuu....
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
Genel KurguUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...