Empat Puluh Delapan

7.4K 1.2K 54
                                    

AKU akhirnya masuk kantor lagi setelah beberapa hari tidak keluar rumah. Bukan karena sudah bersiap melanjutkan hidup seperti semangat yang coba disuntikkan Nawasena, tetapi karena merasa bertanggung jawab pada pekerjaan yang kutinggalkan.

Aku berhasil memaksakan senyum dan tidak menangis saat menerima ungkapan bela sungkawa dari teman-teman yang mengetahui alasan mengapa aku tidak masuk kantor.

Kita makan siang sama-sama ya. Nanti ketemu di lobi. Lima belas menit lagi aku turun.

Pesan Nawasena masuk saat teman-teman di dekat kubikelku mulai membahas apa yang ingin mereka makan siang ini.

Baik, Mas.

Aku memutuskan turun lebih dulu supaya Nawasena tidak menungguku. Aku tahu dia sedang berusaha menghiburku, dan aku menghargai itu.

Aku baru duduk di sofa lobi saat memindai sosok yang sangat aku kenal masuk dalam gedung. Beraninya dia datang ke sini! Aku spontan berdiri hendak menghampiri Ibu yang berjalan penuh percaya diri dengan kepala terangkat seolah dialah yang mendirikan bangunan ini, saat melihat Rasta menghampirinya dan mengarahkan langkahnya ke lift direksi. Apa-apaan ini?

Aku duduk lagi. Kali ini aku bergeser dan mencari tempat yang tidak berhadapan langsung dengan pintu dan akses lift direksi.

Jangan turun sekarang ya, biar kamu nggak lama nunggu. Ternyata aku belum selesai. Aku kabarin kalau sudah masuk lift.

Terlambat, pikirku pahit saat membaca pesan itu. Sekarang aku telanjur tahu apa yang menahannya. Aku memegang dada yang terasa sesak. Apakah mempunyai ibu yang buta hati dan tidak punya malu seperti itu adalah cobaan Tuhan juga?

Ibu tidak lama di atas. Dari wajahnya yang semringah, aku bisa menduga jika dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku yakin itu. Yang aku tidak tahu hanyalah berapa yang Nawasena berikan untuknya. Aku terus mengikuti Ibu dengan pandangan sampai dia akhirnya menghilang setelah keluar dari pintu. Aku tidak mencegatnya karena tidak mau membuat drama di lobi. Menjadi bahan tontonan itu tidak menyenangkan. Apalagi aku sudah bisa menduga kalimat-kalimat apa yang akan Ibu teriakkan padaku. Aku bisa menahan rasa malu karena aku mungkin sama tidak tahu malu seperti dia yang melahirkanku. Tapi aku tidak bisa menyeret Nawasena dalam pertikaian dengan ibuku. Hampir semua orang di gedung ini tahu aku istrinya.

Aku turun sekarang.

Aku tidak membalas pesan itu. Toh Nawasena tahu kalau aku sudah membacanya.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, aku diam saja. Mataku nyalang menatap lalu lintas yang padat, di mana motor dan mobil saling meneriaki dengan klakson masing-masing. Pikiranku mengembara ke mana-mana, tidak bisa fokus pada satu titik.

"Kamu mau makan apa?" tanya Nawasena.

"Terserah Mas aja."

Yang aku inginkan sekarang adalah menanyakan bagaimana ibuku bisa mendapatkan akses padanya. Sayangnya aku harus menunggu sampai Nawasena selesai makan, karena aku tidak bisa menjamin nafsu makannya masih akan ada setelah topik itu aku angkat.

"Makanan Jepang aja ya? Akhir-akhir ini kamu nggak selera makan, jadi yang panas, segar, dan pedas mungkin bisa balikin nafsu makan kamu."

Aku tidak membantah, meskipun nafsu makanku sudah menembus inti bumi setelah melihat ibuku tadi.

Naawasena meraih dan menggenggam tanganku sejenak, sebelum kembali pada kemudi. "Pelan-pelan, Bi. Hidupmu pasti beda dan sulit tanpa Asya, aku ngerti. Tapi kamu bisa menemukan alasan lain supaya bisa bersemangat lagi menjalani hidup."

Aku tersenyum kecut. "Oh ya, misalnya apa?" tanyaku sarkastis. Tidak mungkin aku bisa menemukan motivasi hidup lain seperti Asya.

"Alasan itu pasti nggak akan sebanding dengan Asya untuk kamu, tapi mungkin cukup untuk bikin kamu bertahan dan perlahan menemukan semangat. Misalnya pekerjaan. Masih ada sahabat kamu, Sunny, yang akan mendengarkan semua unek-unek kamu. Ibu memang agak cerewet, tapi dia sayang kamu. Dia pasti suka menghabiskan waktu bersama kamu. Aku juga selalu ada. Kamu hanya perlu membuka mata untuk menyadari kalau kamu belum kehilangan segalanya setelah kepergiaan Asya. Kamu kehilangan anugerah terbesar dalam hidup kamu, itu benar. Tapi pasti masih ada berkat-berkat kecil yang bisa kamu syukuri dan meringankan dukamu."

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang