Dua Belas

11.7K 2.3K 186
                                    

HARI Sabtu adalah hari yang aku tunggu-tunggu karena aku bisa bersama Asya seharian. Seperti sekarang. Aku mengajak Asya makan kue dan es krim di salah satu kafe di dekat rumah Nawasena.

"Mobil Ebi... mobil Ebi...!" Asya mengusap dasboard dengan kagum, seolah dia baru pertama kali naik di mobil ini. "Mobil Ebi bagus."

Semoga mobil ini benar-benar akan menjadi milikku kelak. "Iya, ini mobil Ebi. Mobil Asya juga."

Asya tampak menikmati keleluasaan di dalam mobil setelah biasanya hanya aku bonceng dengan motor. Melihatnya senang seperti itu, aku juga bahagia. Keputusanku menebas habis harga diri terasa tak sia-sia.

"Mobil Asya...!" Asya terkekeh.

"Tuh, toko es krimnya udah kelihatan." Aku menunjuk kafe yang hendak kami tuju. Bagi Asya, semua tempat yang menjual es krim disebut toko. "Asya makan es krim, Ebi minum kopi."

"Es krim... es krim...!" pekik Asya. Kekagumannya pada mobil seketika hilang.

Aku tertawa melihatnya. Adikku benar-benar gampang dibuat senang. Entah apa yang ada di kepala Ibu sehingga dia tidak bisa menemukan kebahagiaan dalam diri Asya seperti yang aku rasakan.

Di dalam kafe, aku dan Asya duduk berhadapan dengan pesanan kami masing-masing. Asya dengan es krim vanila kebanggaannya, sementara aku dengan secangkir kopi dan sepotong keik cokelat. Beberapa bulan lalu, tempat nongkrong dan jenis camilan kami ini adalah kemewahan yang tidak terjangkau. Saat itu, es krim vanila Asya adalah buatan pabrik secara massal, bukan home made seperti sekarang.

"Enak, Sya?" Aku membersihkan sudut bibir Asya yang berlepotan. Meskipun sering kali sudah bisa makan dengan rapi, kadang-kadang Asya masih berlepotan. Terutama kalau makan dengan penuh semangat.

Asya mengangguk kuat-kuat. "Enak, Ebi. Es krim enak. Sayang Ebi...!"

"Sayang Asya juga." Aku mengusap kepala Asya yang terulur padaku. Saat sulit memelukku karena tangannya terlalu sibuk seperti sekarang, Asya akan menjulurkan kepala supaya aku bisa mengelusnya.

Ponselku berdering persis ketika aku meletakkan cangkir pada tatakannya. Aku tersenyum saat melihat nama Mbak Menur di layar. Kami masih berkomunikasi. Hanya saja, Mbak Menur lebih sering menghubungiku lewat pesan teks saat tahu aku sudah bekerja. Mungkin dia takut mengganggu jika meneleponku di hari kerja. Dia juga jarang menghubungiku saat weekend. Mbak Menur pasti berpikir aku menghabiskan waktu bersama Nawasena.

Aku tidak pernah menceritakan bagaimana kondisiku dengan Nawasena. Rasanya tidak nyaman saja berbagi hal seperti itu dengan orang lain. Bagaimanapun anggapan Nawasena tentang aku dan hubungan kami, dia tetap saja suamiku. Jadi sampai ikatan kami ambyar, apa yang seharusnya menjadi rahasia rumah tangga kami yang aneh ini, biarlah tetap menjadi rahasia.

"Halo, Mbak," sapaku bersemangat.

"Bi, lo baik-baik aja, kan?" bukannya membalas salamku, nada Mbak Menur malah diliputi kekhawatiran.

Senyumku perlahan surut. Ada apa? "Iya, Mbak. Saya sama Asya baik-baik aja kok. Emangnya kenapa?"

"Syukurlah." Tarikan napas Mbak Menur yang panjang terdengar lega. "Beberapa hari lalu ada orang yang nanya-nanya tentang lo ke Mas Gio dan teman-teman lain."

"Pelanggan kita Mbak?"

"Kalau pelanggan sih gue nggak khawatir, Bi. Gue kepikiran karena modelnya lebih mirip intel daripada pelanggan. Orangnya udah agak tua gitu. Gue makin kepikiran pas lihat dia muncul di kompleks sini kemarin, Bi. Di sini, dia juga nyari info tentang elo. Gue mau telepon lo dari kemarin, tapi lo pasti di kantor. Gue nggak mau malah jadi ganggu karena bikin lo cemas."

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang