Tiga Puluh Tiga

12.6K 2.1K 137
                                    

AKU mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya lampu yang terang-benderang. Setelah nyawaku terkumpul, aku menyadari jika aku tidak berada di dalam mobil lagi, tetapi sudah di atas tempat tidur Nawasena.

Sepertinya aku tertidur seperti orang mati sampai tidak menyadari sudah berpindah tempat. Aku memang kelelahan dan kurang tidur. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Nawasena sehingga aku berasumsi dia sudah pulang ke apartemennya.

Aku bergegas turun dari ranjang dan kembali ke kamarku sendiri. Aku tidak berhak tidur di kamar Nawasena saat dia tidak berada di situ dan menginginkan aku. Dia sudah menarik garis yang jelas sejak awal kedatanganku di rumah ini. Aku boleh menempati ruangan mana pun di rumah ini, asal itu bukan kamarnya.

Aku ingin mandi supaya lebih segar, tapi kepalaku masih terasa berat. Aku akhirnya menuju kamar Asya. Aku duduk di tepi ranjang, mengamati napasnya yang naik-turun teratur. Tidurnya sangat nyenyak. Mungkin seperti tidurku saat berada di dalam mobil Nawasena.

Asya seperti bidadari saat terlelap seperti ini. Dia memang bidadariku. Sumber kekuatanku. Aku mengecup keningnya sebelum kembali ke kamarku sendiri.

Masih dengan baju yang kupakai dari puncak, aku naik ke ranjang dan melanjutkan tidur. Semoga saat bangun besok perasaanku sudah membaik karena harus masuk kantor.

Dalam tidur, samar-samar aku mendengar namaku dipanggil dan kepalaku diusap-usap. Nenek. Nenek datang menemuiku. Aku ingin membuka mata, tapi rasanya terlalu berat. Aku tidak bisa bicara dengan Nenek meskipun aku ingin. Aku perlu menceritakan bagaimana hidupku terombang-ambing tak tentu arah seperti sepotong kayu di tengah laut setelah kepergiannya. Aku perlu merasakan hangatnya pelukan Nenek untuk meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa aku akan bisa menjaga Asya. Aku perlu penguatan itu dari Nenek.

Aku lalu tenggelam dalam kegelapan lagi. Nenek sudah pergi meninggalkanku.

Ketika benar-benar terjaga, aku melihat jika di punggung tanganku sudah terpasang jarum infus. Kapan dan siapa yang memasangnya? Aku sama sekali tidak menyadarinya.

"Sudah bangun, Mbak?" Kepala Mbok Sarti tiba-tiba saja muncul di sisi bantalku. Ternyata dia tidur beralas karpet di lantai, di dekat ranjangku. Mungkin dialah yang mengelus kepalaku semalam, karena tidak mungkin Nenek yang melakukannya. "Mbak Febi mau makan? Mbak belum makan apa pun sejak pulang dari Puncak."

Aku menggeleng. Mulutku terasa kering. "Kok saya diinfus sih, Mbok?"

"Mbak Febi demam sampai ngigau-ngigau, jadi Mas Sena panggil dokter. Perawat yang jagain Mbak Febi masih ada tuh. Lagi tidur di kamar tamu."

"Bukannya Mas Sena pulang ke apartemen?"

"Mas Sena nggak pulang kok, Mbak. Dia khawatir banget sama Mbak Febi. Tadi mau langsung dibawa ke rumah sakit, tapi dokter bilang tunggu sampai besok dulu. Kalau kondisi Mbak Febi nggak membaik setelah dikasih obat, baru dibawa ke rumah sakit. Dari tadi dia mondar-mandir ke sini ngecek Mbak Febi."

"Ooh...." Kedengarannya orang yang diceritakan Mbok Sarti itu bukan Nawasena yang tidak pedulian.

"Saya udah bikin bubur untuk Mbak Febi. Saya ambilin ya, Mbak?" bujuk Mbok Sarti.

"Nanti aja, Mbok. Saya mau minum aja." Leherku yang kering perlu dibasahi.

"Teh manis ya, Mbak, biar ada tenaganya."

Aku mengangguk lemah. Pandanganku terarah pada nakas. Sudah jam tiga subuh. Dengan kondisi seperti sekarang, aku nyaris mustahil masuk kantor. Aku tidak suka izin meskipun sakit. Aku masih trauma pernah di-PHK karena masalah kehadiran.

Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang untuk menganalisis kondisi tubuhku. Sakit kepala yang kurasakan kemarin sudah menghilang. Mataku juga tidak terasa panas lagi saat kupejamkan. Obat yang diberikan dokter melalui infus benar-benar mujarab.

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang