AKU sudah melupakan perintah Nawasena tentang resign dan pindah kerja ke kantornya sampai tiba-tiba dia menelepon dan menyuruh aku memasukkan lamaran kerja karena proses rekrutmen pegawai baru sudah dibuka. Dia lalu mengirim tautan pengumuman rekrutmen yang berisi persayaratan yang harus dilengkapi.
Masukkan hari ini. Gunakan fail yang kamu gunakan waktu ikut rekrutmen di kantormu yang sekarang, supaya kamu nggak pakai alasan harus nyari-nyari fail dulu.
Aku menatap pesan itu nanar. Sejujurnya, aku tidak mau pindah kantor. Aku nyaman berada di kantor ini. Ada rasa canggung karena Pak Rigen sudah melihatku sebagai istri temannya, bukan lagi sebatas staf yang bisa disuruh dan diomeli sesuka hati, tapi itu bukan masalah. Pelan-pelan, kecanggungan itu akan hilang setelah rasa bersalahku karena telah membohonginya memudar, dan Pak Rigen juga bisa kembali menganggapku sekadar bawahan.
Ada beberapa hal yang membuatku enggan pindah ke kantor Nawasena. Proses adaptasi yang tidak akan menyenangkan menjadi alasan pertama. Kedua, aku tidak mau bekerja di kantor di mana suamiku menjadi salah seorang petinggi. Seandainya kami tetap menjaga kerahasiaan hubungan seperti sekarang, itu artinya aku harus kembali berpura-pura tidak mengenalnya secara pribadi. Kalau hubungan kami akhirnya ketahuan, aku akan berhadapan dengan rekan kerja yang memperlakukan aku istimewa karena aku adalah istri dari cucu Kusuma Wardhana sekaligus salah satu direktur di kantor itu. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan.
Ada satu hal lain yang juga menggangguku tentang kemungkinan pindah kantor itu. Hubunganku dengan Nawasena setelah perpisahan kami kelak. Aku selalu berpikir jika setelah hubungan kami berakhir, kami tidak akan bertemu muka lagi. Aku akan memulai hidup baru yang jauh dari lingkungan Nawasena. Tapi hal itu tidak akan terjadi kalau aku bekerja di kantornya. Aku tahu Nawasena sangat sibuk, dan kecil kemungkinan kami akan sering-sering berpapasan di kantor, tapi bagaimanapun besarnya kantor itu, kami masih akan berada dalam satu gedung. Hubungan kami tidak akan benar-benar terputus.
Aku menggigit ujung telunjukku. Bagaimana cara menolak perintah Nawasena? Aku sudah berjanji untuk mengikuti apa pun yang dia katakan. Kata-kata yang kususun dan kuketik kuhapus kembali.
Dering ponsel yang berada dalam genggamanku membuatku terkejut. Syukurlah bukan Nawasena.
"Bi, ke ruangan saya sekarang ya." Pak Rigen menutup telepon sebelum aku menjawab.
Aku buru-buru ke ruangannya.
Pak Rigen sedang menatap layar laptopnya serius saat aku masuk. Aku mengambil tempat di depan mejanya. Senyum Pak Rigen yang seramah biasa terkembang setelah mengalihkan perhatian padaku.
"Sena baru saja telepon. Katanya kamu mau resign dan pindah ke kantornya ya? Kok kamu nggak bilang soal ini sebelumnya?"
Aku menarik napas pasrah. "Sebenarnya belum final sih, Pak. Masih mau saya omongin sama Mas Sena."
"Kalau memang mau kerja di kantornya, kenapa harus melamar ke sini dulu? Pindah-pindah kantor kan repot."
Aku hanya bisa tersenyum masam.
"Kalian sudah menikah saat masuk kerja di sini, kan?"
"Sudah, Pak," jawabku jujur.
"Ini bukan urusan saya karena sifatnya sangat pribadi, tapi kenapa pernikahan kalian sepertinya disembunyikan? Kamu ada masalah dengan keluarga Sena?"
Apa yang dikemukakan Pak Rigen yang melihat hubungan kami sebagai orang luar adalah hal yang wajar. Kalau ada masalah penerimaan di antara keluarga kami, pasti pihakkulah yang diragukan. Tidak mungkin ada keluarga perempuan yang tidak menerima orang seperti Nawasena dalam keluarga mereka.
"Nggak usah dijawab kalau nggak mau," lanjut Pak Rigen. "Saya hanya penasaran saja."
Lebih baik memang tidak menjawab karena penjelasanku akan bersifat curhat dan cenderung menyudutkan diriku sendiri. Aku tidak mungkin mengatakan jika pernikahan kami dilangsungkan di KUA tanpa dihadiri keluarga karena Nawasena tidak benar-benar butuh istri yang akan diakuinya ke publik, sedangkan aku dalam kondisi putus asa dan akan melakukan apa pun untuk uang, termasuk menikahi orang asing yang namanya baru kutahu dari kartu nama yang disodorkannya saat mengajukan penawaran membeliku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
Ficción GeneralUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...