Lima Puluh Satu

6.3K 1.2K 81
                                    

SECANGKIR kopi sudah menungguku di kitchen island saat aku masuk ke area dapur. Aromanya yang wangi memenuhi udara. Nawasena duduk di salah satu stool sambil menekuri iPad-nya. Senyumnya mengembang saat menyadari kehadiranku.

"Kamu beneran nggak mau berangkat ke kelurahan dari kantor?" Dia mengulangi kata-katanya semalam. "Jauh dikit nggak apa-apa, kan diantar Rasta."

"Nggak usah, Mas. Saya juga belum siap-siap." Aku sudah mandi, tapi masih memakai kausnya. "Mas kan ada meeting pagi-pagi, jadi harus berangkat sekarang."

Nawasena melihat pergelangan tangan sebelum buru-buru menandaskan isi cangkir. Aku mengiringi langkahnya. Dia mengambil tas kerja di atas meja ruang tengah lalu berjalan ke pintu.

Ini adalah saat-saat terakhir aku melihatnya. Setelah dia keluar dari apartemen, aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Mungkin untuk selamanya. Entah mengapa, pikiran itu terasa menyesakkan.

"Mas...," Aku memeluknya dari belakang. "Terima kasih sudah baik banget sama saya dan Asya. Saya nggak tahu gimana nasib kami seandainya nggak ketemu Mas." Mungkin setelah lepas dari tangan Fajar, aku akan menjadi piala bergilir laki-laki hidung belang lain demi mendapatkan uang.

Tas Nawasena terjatuh di lantai. Dia melepaskan tanganku dari pinggangnya dan berbalik. "Kamu kenapa sih?" gerutunya. "Omongan kamu kok aneh gitu!"

Aku mendongak menatapnya, berusaha menahan air mata. Tadinya aku tidak menyangka jika perpisahan akan sesulit ini. Aku pikir, pergi sama gampangnya dengan memasuki rumahnya.

"Nggak apa-apa. Saya hanya sentimental aja."

Nawasena merangkum wajahku dalam tangannya dan mengecup bibirku sekilas. "Jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku duluan ya. Sampai ketemu nanti siang."

Aku masih berdiri di depan pintu lama setelah bunyi "klik" tanda pintu sudah tertutup rapat terdengar. Nawasena sudah pergi. Bukan hanya dari apartemen ini, tapi juga dari hidupku.

Setelah mengambil buku catatan dari tasku, aku kembali ke dapur. Kopi buatan Nawasena pahit seperti biasa. Aku menyesap beberapa kali lalu beralih pada kertas kosong di depanku. Aku menghela dan mengembuskan napas panjang sebelum menunduk dan mulai menulis.

Untuk Mas Sena,

Maaf karena saya nggak pamitan secara langsung. Saya nggak pernah bisa mengungkapkan apa yang ada dan sudah tersusun rapi di kepala saya saat berhadapan dengan Mas. Mungkin karena kapasitas otak saya nggak sampai untuk berkomunikasi runut dengan orang secerdas Mas.

Saya pergi karena sudah nggak punya alasan untuk tinggal. Asya sudah nggak ada, jadi dia nggak perlu saya lagi untuk menyediakan tempat tinggal yang nyaman, makanan bergizi, dan sekolah yang bagus untuk anak istimewa seperti dia.

Terima kasih untuk semua kebaikan Mas dan keluarga Mas, terutama Ibu Mas. Sampaikan salam dan permohonan maaf saya karena nggak bisa berpamitan dengan pantas.

Saya yakin ibu saya akan datang lagi untuk meminta uang sama Mas. Katakan padanya kalau kita sudah berpisah sehingga dia nggak punya alasan lagi untuk memeras Mas. Saya beneran malu karena dia sudah berbuat seenaknya seperti itu pada Mas. Sayangnya saya nggak bisa menjanjikan akan bisa mengembalikan uang yang sudah dia ambil dari Mas karena saya nggak punya uang sebanyak itu.

Cincin dari ibu Mas, perhiasan-perhiasan yang Mas kasih, kartu kredit, kartu debit, dan kunci mobil saya tinggalkan di dalam laci nakas kamar yang selama ini saya pakai. Semua saya kembalikan karena saya nggak butuh itu lagi. Saya mengumpulkan uang untuk bekal hidup bersama Asya setelah berpisah dengan Mas. Tapi karena dia sudah nggak ada, saya nggak punya alasan lagi untuk mengambilnya.

Tapi maaf, uang yang ada di kartu debit, yang setiap bulan Mas setorkan ke rekening saya nggak utuh lagi. Ada yang sudah saya pakai untuk membeli perhiasan kembar untuk saya dan Asya (barang itu saya bawa sebagai kenang-kenangan bagi saya dan Asya). Ada juga yang saya ambil untuk jaga-jaga karena tabungan dari gaji saya selama bekerja belum cukup untuk memulai hidup baru. Saya nggak mau mengulang kejadian yang sama harus menjual diri untuk mendapatkan uang, karena saya nggak mungkin akan bertemu dengan orang sebaik Mas. Keberuntungan nggak mungkin datang dua kali. Saya yakin Mas nggak keberatan. Jumlahnya nggak bermakna untuk Mas.

Saya yakin Mas bisa menyelesaikan perceraian kita tanpa kehadiran saya. Kalau saya kelak membutuhkan akta cerai itu, saya akan menghubungi Mas untuk tahu di mana saya harus mengambilnya.

Semoga Mas bisa memulai hidup Mas dengan cara yang benar, dengan orang yang tepat, dan berbahagia untuk selamanya. Saya nggak yakin doa orang seperti saya akan dikabulkan Tuhan, tapi saya akan berdoa untuk kebahagiaan Mas.

Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.

Ebi.

Aku membaca surat itu sekali lagi. Semua yang ingin aku sampaikan sudah tertulis dengan jelas. Itu surat perpisahan yang ringkas dan tidak mengharu-biru, tapi anehnya, air mataku tetap saja jatuh. Beberapa tetes malah jatuh di atas kertas, membuat huruf-huruf jadi melebar.

Aku menatapnya frustrasi, tapi aku tidak ingin menulis ulang. Tidak apa-apa, toh masih bisa terbaca.

Setelah membereskan dapur, aku meletakkan surat itu di atas meja ruang tengah, tempat yang bisa dilihat Nawasena dengan mudah.

Di dalam kamar, aku sekali lagi mengamati wajah Jakarta dari ketinggian. Perkampungan kunang-kunang raksasa sudah berganti dengan kumpulan pohon gedung-gedung, dan banyak mobil-mobil yang menyerupai semut yang berarak mengejar potongan gula.

Aku kemudian berbalik, berjalan menuju pintu keluar. Kartu telepon yang sudah kulepas dari ponsel kubuang dalam tempat sampah di depan gedung apartemen Nawasena. Tak ada yang tersisa lagi yang akan menghubungkan aku dengan kehidupan yang baru saja kupunggungi.

Selamat tinggal.

**

Yang belum baca di Karyakarsa dan ketinggalan PO, bisa baca di Google Play Books ya. Di sana lengkap dengan EP yang nggak akan di-posting di Wattpad. Tengkiuuu... 

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang