Dua Puluh Tiga

12.4K 2K 224
                                    

WIKA tampak semringah saat kembali dari rapat. Tadi, dia bersama Pak Rigen menghadiri rapat bersama manajer dari divisi lain.

"Bulan depan kita liburan ke Puncak!" serunya lantang yang otomatis mendapatkan perhatian semua orang di ruangan. "Family gathering. Apresiasi karena laba bersih perusahaan udah jauh melampaui target, padahal belum akhir tahun."

Tepukan tangan dan tawa senang langsung memenuhi ruangan.

"Nanti kita bentuk panitia untuk mengoordinasi acaranya. Mulai dari reservasi tempat sampai menyusun games dan fun activities lain buat seru-seruan."

Mungkin aku satu-satunya orang yang tidak terlalu antusias mendengar rencana itu. Aku akan senang membawa Asya ke Puncak untuk liburan, tapi tidak bersama banyak orang. Kalau Asya kuajak serta, dia tidak akan bisa mengikuti permainan berkelompok. Dia akan menjadi penyebab kekalahan kelompoknya. Permainan, walaupun diembel-embeli kata fun, selalu menimbulkan perasaan kompetitif, dan semua orang berniat menjadi pemenang.

Aku juga tidak akan tega meninggalkan Asya sendirian menonton keseruan permainan ketika aku ikut bermain. Tidak mungkin kan, aku tidak berpartisipasi dalam permainan itu saat disuruh?

"Semuanya harus ikut ya?" bisikku pada Wika setelah dia duduk kembali di kubikelnya.

Wika menatapku dengan pandangan menuduh. "Jangan bilang lo nggak mau ikutan! Tentu saja lo harus ikut karena lo masuk panitia. Karena lo hitungannya masih baru, jadi kerjaan lo tentu saja lebih banyak daripada yang lain. Semua bagian mondar-mandir pasti kebanyakan elo yang handle."

Kalau aku jadi panitia, aku pasti akan sibuk, jadi mustahil membawa Asya bersamaku. Aku menghela napas pasrah. "Saya ikut kok, Mbak."

Wika mengangkat kedua jempolnya. "Nah, gitu dong. Ini kesempatan untuk nempelin Pak Rigen lho, Bi," bisiknya sambil terkikik. "Siapa pun pacar lo itu, gue nggak yakin kualitasnya bisa ngalahin Pak Rigen. Belum terlambat untuk berubah pikiran. Pacar lo lebih kaya daripada Pak Rigen?"

"Hah, apa?" Aku membelalak mendengar pertanyaan absurd itu.

"Dia yang beliin lo mobil, kan? Waktu pertama masuk ke sini, lo kan masih pakai motor." Wika terdengar mantap dengan analisisnya. "Tapi, biarpun dia lebih kaya, dia belum tentu seasyik Pak Rigen. Iya, kita harus realistis dan mencari pasangan yang bisa membiayai semua kebutuhan kita. Tapi apa gunanya mandi duit kalau pasangan kita orangnya nggak asyik dan nggak bisa memahami kita? Duit, perhatian, dan kasih sayang itu harus seimbang. Dia juga nggak mungkin secakep Pak Rigen, kan?"

"Hah...?"

Wika mencibir. "Lo beneran mau bilang kalau pacar lo itu lebih cakep daripada Pak Rigen?"

Aku spontan membayangkan Nawasena. Tingginya mungkin sama dengan Pak Rigen. Aku sudah pernah melihatnya tanpa pakaian, jadi tahu persis kalau badannya bagus. Bukan yang berotot di mana-mana, tapi perutnya rata dan berbentuk. Tidak ada lemak di sana.

Aku spontan memegang dan menepuk-nepuk kedua belah pipi saat merasa wajahku hangat. Aku seharusnya tidak membayangkan hal-hal itu secara mendetail.

"Beneran cakep, Bi?" desak Wika yang penasaran melihat reaksiku yang mendadak salah tingkah.

"Ehm... itu... anu...." Aku tergagap. "Cakep kan relatif, Mbak. Yang saya bilang cakep, belum tentu cakep menurut Mbak Wika."

"Menurut lo, Pak Rigen cakep nggak?" tanya Wika.

"Hah... apa?"

"Hah...hih... hah... hih melulu lo," omel Wika. "Kalau menurut lo Pak Rigen cakep, berarti standar cakep menurut kita nggak jauh-jauh banget."

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang