KADANG-KADANG aku merasa seperti musuh dalam selimut saat memasang muka polos ketika teman-teman kantorku membahas tentang Vierra atau Nawasena. Aku mendengarkan seolah tidak kenal mereka.
"Kasihan Bu Vierra ditinggal Pak Arsa dalam keadaan hamil kayak gitu," kata salah seorang teman ketika kami melihat Vierra juga berada di lobi saat kami hendak ke salah satu kantin karyawan yang terletak di bagian belakang gedung kantor kami. "Padahal mereka couple goal banget. Satunya cantik, satunya ganteng. Kelihatan banget kalau mereka saling cinta."
"Bahkan cinta yang paling sempurna pun masih kalah sama takdir," timpal yang lain.
"Bu Vierra akan segera move on kalau dia udah notice gue," ujar Darryl terkekeh. Di antara semua teman baruku, dia yang konsisten membuatku risi. Tangannya terlalu jail dan tidak tahu tempat. Dia melihat aku memakai cincin, dan aku juga sudah menjelaskan bahwa aku sudah menikah, tapi hal itu tidak membuatnya menghentikan kebiasaannya menyentuh atau mencolekku. Memang hanya di tangan, lengan, atau bahu, tapi aku tetap tidak suka. Aku hanya tidak mau membuat suasana jadi kurang enak kalau menegurnya terang-terangan. Biasanya aku akan menghindar dan menjaga jarak saat dia berada di dekatku. Seperti sekarang, aku memilih beriringan dengan teman yang lain, meninggalkan Darryl yang tadinya berjalan di sebelahku.
"Sampai kiamat pun, Bu Vierra nggak akan notice keset kaki yang sok kecakepan dan genit kayak lo!" dengus teman yang lain. "Kalau Bu Vierra mau move on, cocoknya sama yang modelan kayak Pak Sena tuh. Ganteng dan tajir. Sebelas-dua belas lah sama Pak Arsa. Nggak turun derajat."
"Tapi, gue pernah lho jalan di belakang Pak Arsa dan Pak Sena, jadi sempat dengar mereka ngobrol. Pak Arsa nanyain kabar istri Pak Sena. Yang pernah gue ceritain tempo hari itu lho, guys."
"Bercanda kali, Vi. Mana mungkin Pak Sena nikah dan kita nggak diundang sih? Kalau kita emang nggak diundang, pasti tetap kedengaran kabarnyalah. Nggak mungkin juga orang kayak Pak Sena nikah diam-diam. Nggak masuk akal aja. Dia anak sulung bos, jadi pernikahannya pasti dibikin besar-besaran kayak pernikahan Pak Arsa dan Bu Vierra dulu. Lagian, Pak Sena juga nggak pakai cincin tuh!"
"Mungkin aja dia golongan yang mengharamkan pakai cincin emas, kan?"
"Pakai cincin yang bukan emas bisa dong. Kalau gue yang jadi istri Pak Sena, gue paksa dia pakai cincin supaya ciwi-ciwi tahu batas dan nggak jelalatan pas lihatin dia."
Untunglah percakapan itu segera berakhir dan berganti dengan topik lain sehingga aku tidak perlu merasa bersalah terlalu lama.
Saat kembali ke kantor, aku sibuk berbalas pesan dengan Sunny sehingga tidak menyadari kalau aku beriringan dengan Darryl. Aku baru tersadar ketika merasa ada tangan yang merangkul bahuku. Aku spontan menghindar.
"Apaan sih, Febi, dipegang dikit aja udah sok kaget gitu," kata Darryl sambil terkekeh.
"Lo juga sih, Ryl, istri orang lo pegang-pegang," omel Evi. "Paling nggak bisa deh lihat perempuan cantik. Kegenitan lo!"
"Yaelah, bahu doang ini," kilah Darryl. "Itu gestur teman, Vi. Masa sih orang kayak gue mau ngelecehin teman sendiri. Febi tuh yang reaksinya berlebihan. Suami lo pasti tipe kolot yang melarang lo temenan sama laki-laki ya?" Gelak Darryl makin menjadi. Dia kembali mengulurkan tangan hendak merangkulku. Mungkin memang hanya candaan, tapi karena aku tidak terbiasa dipegang-pegang, rasanya tetap risi. Mungkin ini akibat dari tidak pernah punya teman laki-laki, apalagi pacar sehingga gestur pertemanan tetap kuanggap serupa dengan colekan pelanggan di kelab saat aku masih bekerja di sana. Sentuhan berbau seksual yang seperti hendak mengetes apakah aku bisa diajak melakukan kencan berbayar.
"Jangan berani pegang-pegang dia kalau masih sayang pekerjaanmu!" seruan itu sontak membuat kami semua membalikkan badan. Nawasena dan Rasta.
Nyaliku seketika ciut. Aku tidak mengharapkan drama di awal bulan kedua aku bekerja. Saat menoleh pada teman-temanku, aku bisa melihat kalau mereka sama terkejutnya denganku, terutama Darryl.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Asa
Ficção GeralUang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjual diri demi mendapatkan uang. Kondisinya tidak ideal untuk mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilm...