Delapan

11.2K 2.2K 56
                                    

AKU akhirnya memilih sebuah kamar yang bersebelahan dengan kamar Asya. Rasanya aneh tidak sekamar dengan Asya karena sudah terbiasa tidur di ranjang yang sama sejak Ibu lepas tangan dan menyerahkan pengasuhan Asya pada Nenek dan aku.

Tapi di rumah ini tugasku adalah menjadi pemuas kebutuhan biologis Nawasena. Tidak masalah kalau dia ingin melakukannya di kamarnya (satu-satunya ruangan yang pintunya tidak dibuka Mbok Sarti ketika mengajakku berkeliling rumah), tapi kalau dia mendatangiku di kamarku, tidak mungkin kami berhubungan sementara ada Asya di sana.

Memikirkan kemungkinan melakukan hubungan suami-istri dengan Nawasena spontan membuatku mulas. Aku sangat paham jika itu adalah konsekuensi dari keputusan karena telah menyetujui tawaran pernikahan yang dia ajukan. Tapi karena aku tidak pernah bercinta sebelumnya, rasa waswas tetap menghinggapiku.

Bagaimana kalau Nawasena berekspektasi tinggi bahwa aku sudah sangat ahli dalam seni bercinta? Aku bekerja di kelab. Dia pasti berpikir aku sudah terbiasa melayani pelanggan di luar kelab. Dia tahu aku menerima tawaran Fajar untuk dijadikan simpanan dengan imbalan setumpuk uang, kan? Hal itu sudah cukup bagi Nawasena untuk menilai bahwa aku bisa dibeli.

Aku melirik Asya yang terlelap sambil memeluk bantal buluk kesayangannya yang sudah penuh tambalan. Sekarang memang sudah pukul delapan lewat. Waktu tidur Asya. Aku turun dari ranjangnya lalu berjinjit keluar kamar untuk menuju kamarku sendiri.

Perutku mendadak berbunyi. Tadi, aku memang hanya menemani Asya makan, tidak ikut makan karena menunggu Nawasena pulang. Tidak ada perjanjian bahwa aku harus menunggunya untuk makan bersama, tapi kurasa itulah yang akan dilakukan oleh seorang istri.

Sambil menunggu Nawasena, aku berbaring dan bermain ponsel. Berseluncur tak jelas tanpa tujuan. Apakah aku harus membuka situs film biru untuk mempelajari apa yang harus kulakukan kalau Nawasena benar-benar ingin bercinta saat dia pulang? Aku masih punya waktu sampai dia tiba di rumah.

Situs film biru pernah masuk bursa pembahasan dalam percakapan ngalor-ngidul di kantorku dulu, jadi aku tahu kalau situs seperti itu hanya bisa dijangkau dengan VPN. Jariku bergetar saat akhirnya mengunduh VPN. Rasanya seperti melakukan perbuatan terlarang. Aku tidak pernah menonton film seperti itu sebelumnya.

Berbagai gambar tidak senonoh segera memenuhi layar ponselku begitu aku berhasil membuka salah satu situs khusus film dewasa itu. Aku menggigit bibir waswas saat mengeklik salah satu gambar. Desahan vulgar spontan terdengar sehingga aku terkaget-kaget. Aku buru-buru menekan tombol untuk menurunkan volume. Aku hanya bertahan beberapa menit. Adegan dalam film itu membuatku tidak nyaman. Aku tidak bisa membayangkan diriku bersikap seagresif pemeran wanita dalam film itu.

Aku lantas mematikan ponsel dan turun ke lantai bawah. Aku takut tertidur kalau tinggal di dalam kamar. Lebih baik menunggu Nawasena di ruang tengah. Satu jam... dua jam berlalu, tapi Nawasena belum pulang juga.

Tentu saja aku tidak berani menelepon untuk menanyakan jam berapa dia akan pulang.

"Mbak Febi mau makan sekarang?" tanya Mbok Sarti yang mendadak sudah ada di depan sofa yang kududuki.

Aku menggeleng. "Nanti aja, Mbok," tolakku. "Mbok istirahat saja. Kalau Mas Sena pulang dan belum makan, biar saya yang hangatin lauknya. Lampunya nanti saya yang matiin."

Sambil menunggu, aku membuka You Tube dan menonton berbagai video remeh di sana. Tapi rasa kantuk akhirnya mengalahkanku. Aku tertidur.

Saat terbangun, aku melihat ruangan masih terang-benderang. Aku meraih ponsel untuk mengecek waktu. Pukul empat subuh. Kelihatannya Nawasena tidak pulang. Aku bangkit, meliukkan tubuh dan leher yang terasa kaku karena posisi tidur yang tidak ideal di sofa. Setelah mematikan lampu, aku naik ke kamarku. Aku bisa tidur sejenak lagi, sebelum membantu Mbok Sarti di dapur, atau beres-beres rumah.

Melukis AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang