19. Kenyataan

872 97 6
                                    

Jeno yang sebelumnya langsung keluar rumah saat Bayu pergi, Kini menancap gas kembali menuju rumah karena telpon dari Mahen yang mengatakan dia harus segera pulang. Setibanya di rumah, Jeno tersenyum melihat mobil Jae terparkir menandakan sang ayah sudah pulang. Namun ia menaikkan satu alis nya melihat mobil asing yang juga terparkir di depan rumahnya.

Tanpa berlama lama, Jeno segera memasuki rumah berniat menaiki tangga, tapi pergerakannya terhenti ketika Mahen yang tiba tiba muncul menarik tangan Jeno.

Mahen membawa Jeno ke sebuah kamar yang ternyata terdapat banyak orang berkumpul di sana, ada Ayah, Om Johan, Om Johnny dan Bayu? Bukankah Bayu sudah pergi?

Jae yang melihat kedatangan Jeno segera menghampiri dan memeluk Jeno sama seperti saat ia memeluk Mahen tadi.

Jeno membalas pelukan jae, melepas kerinduan "Ini ada apa pah?"

Bukannya menjawab Jae malah melepaskan pelukannya dan mengalihkan kan pandangan pada seseorang yang masih terbaring di ranjang. "Kamu kenal dia?"

Jeno ikut melirik Bayu lalu mengangguk "Iya, dia Bayu."

Mendengar jawaban Jeno, Jae menggeleng "Dia Bima. Adik kamu."

"Hah?"

"Dia Bima Jen" Mahen mengulang perkataan Jae berniat meyakinkan.

Jeno semakin mengerutkan dahinya mendengar omong kosong orang orang dihadapannya "Tunggu tunggu, gimana bisa dia Bima adik aku pah? gak mungkin."

"Bener Jen, dia Bima. Dia langgar aturan Papah kamu dan dateng ke indo diem diem" Sahut Jhonny.

Perkataan semua orang terdengar sebagai lelucon bagi Jeno. Bagaimana bisa seorang Bayu, satu diantara jajaran orang yang paling Jeno benci merupakan adiknya.

Jeno menatap seseorang yang terbaring dengan tenang di ranjang, ia menggertakan giginya kemudian melenggang pergi ke kamar nya sendiri. Ia butuh waktu untuk memahami dan menerima suatu hal yang sebelumnya tidak pernah ia duga. Bahkan terlintas dipikirannya pun tidak pernah.

Disisi lain Bima mulai membuka mata, ia memegang kepala nya yang terasa pusing. Ia hendak bangun, namun tangan seseorang menahannya.

Setelah penglihatannya mulai jelas, Bima menatap pemilik tangan tersebut. Ia ingat dengan sangat seseorang yang tadi sebelum pingsan ia lihat di foto bersama Mahen dan Jeno, dialah pemilik tangan itu.

"Papah?" Celekuk Bima.

Jae yang berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis ambruk di pelukan Bima. Begitu pun Bima, ia menangis sejadi jadinya meluapkan semua penderitaan yang ia lalui selama ini.

Johnny dan Johan yang mengerti keadaan langsung saja keluar kamar memberi privasi, diikuti Mahen. Mereka mengerti keduanya membutuhkan waktu untuk sekedar saling berbagi cerita antara seorang anak dan orang tua.

Beberapa menit berlalu diisi dengan tangisan, Jae melepaskan pelukannya, menopang wajah Bima dengan kedua tangan dan mengusap air mata yang masih keluar dari mata indah putranya. Mata bulat yang sama persis dengan mendiang sang istri yang sangat dia dan anak anaknya cintai.

"Maafin papah ya?"

Tangisan Bima semakin kencang mendengar kalimat yang jae lontarkan. Kenangan saat ia melihat orang lain bersenang senang bersama keluarganya dimasa kecil kembali terlintas. Ia kembali memeluk Jae lebih erat dari sebelumnya, tidak memberi ruang sedikitpun untuk jae pergi meninggalkannya.

Lama kelamaan tangisan Bima perlahan mereda lalu berhenti, begitupun dengan pergerakannya. Jae yang merasakan hal tersebut segera melepas pelukan, terlihat tubuh Bima lemah karena kesadarannya hilang. Jae yang panik segera mengambil ponselnya dan menghubungi dokter. Namun, baru saja ia hendak menekan tombol berwana hijau, terdengar seseorang mendengkur. Tentu saja Bima, siapa lagi?

Jae menghembuskan nafas panjang, merasa lega hal buruk yang ada dalam pikirannya tidak terjadi. Dan ia harap tidak akan pernah.

"Bisa-bisa nya kamu tidur dikeadaan begini ya.." jae terkekeh sambil mengusap lembut pucuk rambut Bima.

Dengan telaten Jae menyelimuti Bima, setelahnya ia pergi keluar menemui yang lain.

"Gimana keadaan Bima?" Tanya Mahen yang melihat Jae keluar.

"Adik kamu baik baik aja" Jae mengusap pucuk rambut Mahen yang terlihat gelisah.

'Adik kamu' kata kata itu membuat Mahen mengulum senyuman, Ia masih saja belum percaya tuhan sebaik ini untuk memperbolehkannya bertemu dengan sang adik.

.
.
.
                               

Bima terbangun dengan kepala yang sedikit pusing, efek tertidur saat menangis sepertinya. Tepat setelah mengedarkan pandangan Bima melihat jam menunjukan pukul 08.00 pagi, mungkin dia sudah tertidur selama 8 jam.

Ia mengubah posisinya duduk, menyandarkan diri lalu memikirkan semua hal yang selama ini terjadi.

Apa ini benar benar keluarganya? Apa dia pantas mendapatkan keluarga sesempurna ini? Dengan Jae sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab. Mahen sebagai seorang Kakak yang sikapnya selembut sutra dan Jeno? Bagaimana dengan Jeno? Bima tidak yakin Jeno akan senang memikirkan hubungannya dengan Jeno yang selama ini tidak begitu baik atau bahkan memang tidak baik.

Sebenarnya ada rasa kesal saat memikirkan Jeno. Tidak, Bima tidak membenci Jeno, hanya saja ia kesal mangingat perlakuan terakhir Jeno padanya semalam.

Clekk

Bima menoleh kala mendengar suara pintu terbuka. Mahen muncul dengan senyuman yang sepertinya tidak bisa dia hentikan.

"Pagi. Udah baikan?" Tanya nya setelah duduk di samping Bima.

Bima mengangguk kaku mengingat wajah marah Mahen semalam membuat ia sedikit canggung, takut takut Mahen masih marah padanya.

"Ahh iya soal kemarin, Abang minta maaf yaa?"

Dengan segera Bima menggelengkan kepalanya "E-enggak, bang Mahen gak salah. Bima emang pantes dimarahin karena udah bohong dan ngelanggar janji buat gak balapan lagi."

Melihat sang adik menundukan kepala membuat Mahen sedih, Ia mengambil tangan Bima untuk di genggam "Abang juga salah karena gak ngasih kamu kesempatan buat ngejelasin alasan di balik itu semua.." ada jeda sebelum Mahen kembali berucap, ia masih mengumpulkan keberanian.

"...dan kesalahan terbesar Abang adalah, gak ngenalin kamu sebagai adik Abang."

Mahen membawa Bima pada pelukannya, ia mendekap Bima dengan sangat erat. Memikirkan hari hari yang Bima lalui tanpa kehadiran keluarga di sampingnya membuat hati Mahen selalu teriris. Hingga kini ia berprinsip, ia tidak akan pernah pergi dari sisi Bima seumur hidupnya.

[16/11/22]

Happy ending be like :

Bima Or BayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang