Sebenarnya sejak kedatangan Jessica hari itu, tidak ada perubahan spesifik di kelas 10 MIPA 1. Setidaknya itu menurut pandangan Elisa.
Oh ya, hasil ulangan hari itu juga sudah dibagikan. Dan seperti yang dikatakan Justi saat itu pula bahwa Elisa akan mendapat nilai tertinggi lagi.
Elisa memandangi kertas hasil ulangannya sejak dua puluh menit lalu, senang sekali karena ia menjadi satu-satunya peraih nilai sempurna.
Kali ini kelas kembali kosong karena seluruh dewan guru tengah mengadakan rapat persiapan Ujian Tengah Semester.
Dan keadaan kelas 10 MIPA 1 sangat ramai karena seluruh siswa sedang bermain kejar-kejaran, baik laki-laki maupun perempuan.
Elisa tak sengaja menemukan Jessica yang turut bermain bersama teman-teman yang lain, gadis itu sesekali tertawa lepas atau bahkan mendorong pelan bahu Brisa saat melihat Justin dan Ares kejar-kejaran mengelilingi kelas.
How perfect she is. Cantik dan mudah bergaul.
Bahkan belum genap sebulan Jessica menjadi bagian dari kelas 10 MIPA 1. Tapi dibandingkan dengan dirinya, Jessica terlihat sudah lebih akrab dengan yang lain.
Elisa pun jarang berbincang dengan Jessica. Bukan karena iri dengan gadis itu, apalagi membencinya. Bukan. Sama sekali bukan.
Elisa hanya ... Merasa hilang percaya diri bahkan hanya dengan berdiri disamping Jessica.
Jessica memiliki banyak hal yang bisa dipamerkan, sedangkan ia hanya memiliki selembar kertas dengan angka seratus tercetak besar di ujung kanan atas.
"El, ngelamun aja." Tepuk salah satu teman satu kelas Elisa yang lain. Namanya Jeana, siswi yang duduk tepat di belakang Elisa.
Sama dengan pandangannya pada yang lain, Elisa merasa tidak dekat dengan Jeana.
Mata Jeana beralih pada selembar kertas yang masih setia dipegang oleh Elisa. Gadis itu merebutnya dengan cepat lalu membulatkan mulutnya.
"Wah gila, lo dapet 100?" tanya Jeana. Cukup kencang hingga membuat separuh isi kelas menatapnya.
Elisa hanya bisa tersenyum canggung dan meminta Jeana mengembalikan kertasnya dengan gestur yang kurang jelas.
"Keren banget, gue aja cuma dapet 75," tambah Jeana sambil mengembalikan kertas ulangan Elisa.
"Sumpah ya, gue tau lo peringkat dua di kelas, tapi gue gak tau kalo lo sepinter ini," puji Jeana lagi dan lagi. "Lagian lo gak keliatan aktif kalo di kelas sih," tambah Jeana.
"Hehe, gue gak pinter-pinter banget kok, Je?" balas Elisa pelan.
Sebenarnya Jeana itu bukan ahli pembaca wajah, tapi entah kenapa gadis itu merasa bahwa teman satu kelasnya ini sepertinya sedang memendam sesuatu yang tak ia katakan pada orang lain.
"El, nanti lo ke kantin sama siapa?" tanya Jeana membuat kedua alis Elisa hampir menyatu.
"Biasanya sama Rena 10 MIPA 2, tapi nanti kayaknya sendiri soalnya dia lagi sakit."
Jeana tersenyum mendengar jawaban panjang dari Elisa. Gadis itu lantas kembali berkata, "Kalo gitu sama gue aja biar gak sendirian."
"Eh?"
Jeana menganggukkan kepalanya ribut. Menandakan bahwa ia tak berbohong mengenai ucapannya barusan.
"Iya, nanti bareng ke kantinnya," final Elisa.
"Loh, gue gimana, El?" tanya seseorang dari belakang.
Elisa kemudian membalikkan badannya, menemukan seseorang yang sedari tadi ia nanti kedatangannya.
Siapa lagi kalau bukan Justin.
"Ih apaan sih orang gue udah booking Elisa duluan," sewot Jeana.
"Bookang booking, lu kata hotel?"
Elisa menengadahkan kepalanya, menatap Justin yang berdiri di sebelahnya.
"Lo 'kan bisa sama Ares," ujar Elisa.
"Yah, El ...."
Yang dibicarakan ternyata menyusul Justin. "Tin, ayo ke kantin. Gue diajak Jessica nih, kalau berdua doang nanti bisa-bisa gue diamuk Nona."
Tanpa mendengar persetujuan Justin, Ares segera menarik kawan lamanya itu.
"Yuk, El. Ke kantin juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Belong With Me [✓]
Fanfiction[LOVEPEDIA THE SERIES - 01] Bagi Elisa, Justin itu cinta pertama sekaligus patah hati terbesarnya. Lebih bodoh lagi karena ia tidak bisa menghapus perasaannya.