Semakin hari rasanya beban Elisa semakin banyak. Bukan perkara Justin saja, melainkan permasalahan tugas, praktikum, dan hal lain yang seakan tengah bersatu untuk melawan Elisa.
Sore itu, El hampir saja melupakan kewajibannya untuk piket kelas. Hanya seorang diri karena yang lain sudah melakukannya saat Elisa masih sibuk di ruang guru.
Hari-hari cuaca semakin sering mendung dan hujan. Terutama ketika jam sudah menunjukkan pukul dua lewat. Tapi mau bagaimana lagi? Memang sudah saatnya musim penghujan datang.
Koridor di depan kelas menjadi sangat sepi karena semua siswa sesegera mungkin pulang tepat setelah bel berbunyi, alasannya takut hujan.
"Kayaknya beneran bakal hujan deh," gumam Elisa. Tangannya membuang sampah ke tempat sampah, tetapi kepalanya mendongak melihat langit.
Setelah dipastikan tidak ada debu dan sampah yang tertinggal di lantai, Elisa segera meletakkan sapu kembali ke pojok belakang kelas.
Ditengah kegiatannya yang membereskan barang-barangnya di meja, sebuah suara lembut menyapa di balik tubuhnya.
Elisa terkejut bukan main saat melihat orang yang akhir-akhir ini ia pikirkan tengah berjalan menghampirinya.
Sedikit berprasangka buruk, Elisa memastikan bahwa kaki dari orang dihadapannya itu benar-benar menyentuh lantai.
"Halo, Elisa, ya?" sapanya ceria.
Pandangan Elisa yang semula tertuju pada ujung kaki yang mengajaknya bicara, kini ia naikkan perlahan.
Kaki jenjang itu terlihat sempurna dengan kaus kaki setinggi mata kaki, serta rok biru tua kebanggaan klub pemandu sorak di sekolahnya.
Elisa tak pernah tak kagum karenanya.
"Iya."
"Kayaknya ini pertama kali kita ngobrol gak sih? Jujur gue sebenernya bingung, soalnya bangku kita juga jaraknya agak jauhan," ucapnya panjang lebar.
Ah, kalian tentu dapat menebak siapa lawan bicara Elisa bukan?
Benar sekali. Dia adalah Jessica.
"Ah, iya. Maaf ya nggak nyambut kedatangan lo kayak anak-anak," sesal Elisa.
Jessica menunjukkan gelagat paniknya. "Eh, nggak kok. Gue gak masalah soal itu. Malah awalnya gue ngira lo gak suka sama gue," jeda Jessica sambil menarik napas.
"Terus anak-anak lain cerita katanya lo emang jarang ngomong ya?"
Elisa tersenyum sekilas sambil menggeleng. "Lebih ke bingung sih mau ngomongin apa."
Dan memang sesuai dengan apa yang barusan diucapkannya, sekarangpun Elisa sudah dibuat bingung harus basa-basi seperti apa pada Jessica.
Ia kemudian menatap kembali seragam pemandu sorak yang dikenakan gadis didepannya itu, lalu ia mendapat ide brilliant.
"Ikut ... Cheer ya?" tanya Elisa pelan.
Jessica lantas mengikuti arah pandangan Elisa yang tertuju pada pakaian yang dikenakannya.
"Ah, iya. Gue emang—"
"El." Sapaan singkat dari balik Jessica berhasil menghentikan obrolan kedua gadis canggung itu.
"Justin," lirih Elisa pelan. Matanya kemudian ia alihkan dari Justin ke Jessica, lalu kembali lagi ke Justin, dan seterusnya.
"Halo, Justin," sapa Jessica seperti saat ia menyapa Elisa 2 menit lalu.
"Eh, masih di sekolah, Jess?"
Dari gelagatnya, Elisa paham bahwa yang diucapkan Justin di kantin beberapa hari lalu bukanlah kebohongan belaka.
Lagipula, saat itu bukan pertama kalinya Justin mengatakan pada Elisa bahwa ia menemukan gadis baru yang disukainya.
"Iya, ini baru mau balik sama Jihan," jawab Jessica.
"Gimana sama tes cheer-nya? Lolos gak?" tanya Justin lagi.
Jessica menganggukkan kepalanya. Dengan senang hati ia katakan bahwa ia diterima di klub pemandu sorak dan akan langsung bergabung dengan tim utama.
"Kereeen," puji Justin. Laki-laki itu berniat melontarkan berbagai pujian pada pujaan hati barunya, namun ia urungkan saat Jessica lebih dahulu pamit padanya dan Elisa.
Kepergian tiba-tiba itu membuat suasana Justin mendadak anjlok. Hingga ia tak menyadari bahwa Elisa pun masih berdiri disampingnya.
"Gak balik?" tanya Elisa menyadarkan Justin dari lamunannya.
Bak memiliki dua kepribadian, lelaki yang barusan murung itu mendadak melebarkan senyum dan melayangkan rangkulannya pada Elisa.
"Balik sama gue yuk, El?"
•••
Info ngantemi Justin 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
You Belong With Me [✓]
Fanfiction[LOVEPEDIA THE SERIES - 01] Bagi Elisa, Justin itu cinta pertama sekaligus patah hati terbesarnya. Lebih bodoh lagi karena ia tidak bisa menghapus perasaannya.