Tiga Belas; If You Know, Justin

142 35 8
                                    

Hari pertama setelah kabar hubungan Justin dan Jessica tersebar luas di seluruh warga 10 MIPA 1, hampir semua siswa mengucapkan selamat pada keduanya.

Di hari itu pula, Jeana mengira bahwa Elisa tidak akan hadir di kelas. Namun tebakannya salah saat gadis berponi yang duduk tepat di depan bangku guru itu melenggang seperti biasanya.

Tidak terlihat raut kesedihan karena sehari-hari Elisa lebih sering menunjukkan ekspresi canggung dan malu-malunya.

Selain Jeana yang dibuat keheranan, ada pula Ares selaku teman sebangku Justin yang mengetahui tentang perasaan Elisa pada Justin.

Alis tebal milik Ares hampir menyatu menjadi satu garis lurus saat melihat Elisa yang sesekali memulai pembicaraan dengan Brisa.

Aneh.

Biasanya orang patah hati akan malas bersosialisasi dengan orang lain. Tapi, Elisa justru kebalikannya.

"Pagi semua," sapa guru mata pelajaran Matematika Wajib memulai pembelajaran mengenai bab nilai mutlak.

Guru perempuan muda yang kerap menjadi sasaran godaan siswa laki-laki itu menghadap siswa-siswinya setelah ia panjang lebar menjelaskan tentang nilai mutlak.

"Ada yang mau mencoba ke depan?"

Tangan Elisa terangkat bersamaan dengan Kiara yang duduk bersebrangan dengannya.

"Kiara coba soal pertama, kamu soal kedua ya?" titah sang guru.

Sebenarnya bagi Kiara, ini bukan kali pertama ia mengajukan diri untuk menjawab pertanyaan di papan. Berbeda dengan Elisa yang perdana mengajukan diri.

"Siapa namanya?"

"Elisa Kirana, absen tujuh," jawab Elisa sambil permisi untuk kembali ke bangkunya.

Sebelum benar-benar duduk, matanya melirik ke arah Justin sekaligus Ares yang memberikan jempol masing-masing. Lalu ia beralih pada Jessica yang tengah melamun.

Elisa kembali ke rumahnya bahkan saat jam dinding belum menyentuh angka empat. Masih dengan seragam batik khas sekolahnya, ia menatap langit-langit kamarnya.

Ia tidak menyangka bahwa setelah bel jam ketiga berbunyi, saat guru Matematika Wajib meninggalkan kelas, teman satu kelasnya banyak yang melemparkan pujian.

Kiara sang juara kelas sekalipun.

Masih terdengar ucapan-ucapan seperti, "El, lo keren." "Gue kira cuma Kia aja yang pinter di kelas ini." "Sekarang gue tau kenapa lo peringkat dua."

Bagi Elisa yang sangat susah untuk dekat dengan lingkungan luar, kalimat-kalimat sederhana itu mampu membangkitkan semangat tersendiri untuk semakin memperbaiki diri.

Mungkin memang ini sudah jalan yang Tuhan berikan pada Elisa. Termasuk agar Elisa semakin menyibukkan diri sehingga lupa akan keberadaan perasaannya pada Justin.

Sebuah dering dari balik saku bajunya membuat lamunan singkat Elisa terhenti.

Nama Justin terpampang jelas di layar ponselnya. Membuat ibu jarinya segera menggeser hingga telepon terhubung.

"Halo?"

"Halo, passwordnya?"

Elisa terkekeh pelan. "Apa sih, Justin?"

Kekehan pelan juga terdengar diseberang sana. "Iseng aja, El. Gabut gua."

"Kan bisa jalan sama mba pacar," goda Elisa.

"Ah lo mah. Jessica tuh ternyata lebih suka keluar sama temen-temennya," ujar Justin, tanpa sadar ia mengeluh pada Elisa.

"Jangan ribut. Masa belum seminggu jadian udah ribut aja," titah Elisa menanggapi keluhan Justin.

"Lo tadi keren, El."

"Oh ... ya?"

"Serius, gue suka kalo lo udah mulai ngerasa nyaman sama anak kelas. Lo denger sendiri kan gimana anak-anak juga kagum sama lo tadi pagi."

Elisa mengangguk pelan meskipun Justin tak dapat melihatnya. Tapi, diam-diam air matanya mengalir.

Bibirnya ditekan agar isakannya tak terdengar di sambungan teleponnya dengan Justin.

Andai lo tau, Justin. Gue berusaha keliatan baik-baik aja biar orang-orang gak tau gimana sedihnya gue pas tau lo punya pacar. Tapi kayaknya acting gue terlalu keren sampe lo pun ikutan gak sadar.

You Belong With Me [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang