Tujuh; I think I Like Her

154 37 4
                                    

Sambil puter mulmed ya..

.
.
.
.
.

Pagi itu Elisa benar-benar pergi ke kantin hanya dengan Jeana. Dan karena itu, Elisa akhirnya menyadari bahwa ia terlalu menutup diri dengan lingkungan sekitarnya hingga tak menyadari keberadaan orang sebaik Jeana.

Meskipun Elisa sampai sekarang dibuat bingung kenapa Jeana seperti sedang berusaha keras untuk mengalihkan perhatiannya.

"Biar gue aja yang mesen, ya?" pinta Elisa.

Jeana menggeleng sebagai jawabannya. Ia justru meminta Elisa untuk duduk tenang di bangku kantin paling ujung, sedangkan gadis itu melenggang ke salah satu tempat penjual bakwan.

Awalnya Elisa bingung harus mengisi kegiatannya untuk menunggu Jeana kembali. Ia bahkan sudah mencoba menggeser-geser layar ponselnya tapi tetap merasa bosan.

Sekelebat di ujung matanya menangkap sebuah siluet yang tak asing di netranya.

Benar, itu Justin dan Ares. Keduanya meletakkan empat piring siomay di hadapan dua gadis cantik, Winona dan Jessica.

Tiba-tiba saja lagu milik Olivia Rodrigo berputar di kepala Elisa. Seperti soundtrack yang mengiringi jalannya sebuah film, terdengar cuplikan lirik 'That what our place, I found it first, I made the jokes you tell to her when she's with you'.

Namun, lamunan itu terhenti dengan keberadaan Jeana yang menghalangi pandangannya.

"Bakwannya panas banget anjir, mana gak dikasih nampan," keluh Jeana.

Elisa segera membantu mengambil salah satu bakwan di tangan kiri Jeana sambil sesekali mengucapkan maafnya.

Jeana tertawa mendengar Elisa yang tak berhenti mengeluarkan kata maaf. "Udah, El. Jangan sampe lo sujud di kaki gue ya."

Elisa hanya meringis menanggapinya.

Saat beralih pada bakwannya, ia dikejutkan melihat semangkuk bakwan itu terlihat merah tanpa isi cabai yang berenang di tengahnya.

"Nggak pedes 'kan?" tanya Jeana.

"Kok ... Tau?"

Jeana sempat meringis sebelum menjawab, "Hehe, sebenernya gue liat tragedi bakso lo, Justin, Ares, sama dua siswi lain kapan hari."

Ah, begitu rupanya. Pantas saja Jeana tiba-tiba akrab dengannya.

"Lo jangan mikir yang nggak-nggak, ya, El? Gue sebenernya cuma gak tega aja liat lo," ujar Jeana dengan jujur.

"Kenapa nggak tega?"

Jeana mengangkat kedua bahunya, berpikir sebentar, kemudian menjawabnya. "Gue rasa gue sotoy sih pas ngira lo sama Justin lagi ada masalah, soalnya nggak biasa aja tuh anak gak deket-deket elo."

"Lo ... Sadar?"

Jeana mengangguk. "Satu kelas juga sadar kok, El. Lo tau gak kenapa gue segininya ke elo?"

"Soalnya posisi lo persis banget sama kakak gue dulu. Gue tau persis karena gelagat lo ngingetin gue sama dia, El."

Jeana menjeda ucapannya sebentar. Ia membalikkan badannya hanya untuk melihat Justin yang fokus dengan dunianya sendiri.

"Lo bisa jadiin gue temen cerita kok, selagi lo susah komunikasi sama Rena-Rena itu." Jeana menepuk-nepuk bahu Elisa.

"Makasih."

Elisa senang. Entah kenapa hatinya menghangat setiap ia memiliki perkembangan baik dengan teman-teman disekitarnya.

Gadis itu tak sadar bahwa sosok siswa yang dibicarakannya tengah berjalan menuju ke arahnya.

"El," sapanya riang.

Dan Elisa pun masih sama. Masih dengan senyum yang dihiasi lesung pipinya. "Justin," sapanya.

Jeana hanya memerhatikan bagaimana gerak-gerik Justin dari dekat. Diam-diam emosinya memuncak karena sekelebat adegan di masa depan yang ia temukan di balik tatapan Justin.

"El, nanti pulang bareng gue ya?" pinta Justin.

"Tumben?"

Justin mengangguk pelan. "Ada yang mau gue ceritain."

"Tentang?"

Justin melirik ke arah Jeana sejenak, memberikan tatapan penyesalannya sebelum ia mencondongkan tubuhnya pada Elisa.

Didekatkannya bibir Justin ke telinga Elisa yang tertutup oleh surai hitamnya.

"El, kayaknya gue suka sama Jessica deh."

Elisa tersenyum kecut mendengarnya.

•••

You Belong With Me [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang