21

690 152 42
                                    


"Gold tidak mengkhianatiku! Dia partner yang selama ini menegakkan perusahaanku! Siapa yang bilang--hah? ... dia, d-dia ... yang menciptakan Khemia?"

┬┴┬┴┤┈┈┈┈┈┈┈┈├┬┴┬┴


Aku merasakan hawa sejuk. Perlahan-lahan jariku bergerak, napasku teratur, dan di saat itulah ... pandanganku kembali. Kelopak mata kini terbuka lembut, terang. Hal yang pertama kali aku lihat adalah cahaya menyilaukan.

"Haaaa ..."

Aku menarik napas begitu panjang, seakan-akan aku sudah tak pernah menghirup udara setelah sekian lama. Aku pun bangkit, mendudukkan diri dari baring, lalu menemukan fakta yang cukup mengejutkan.

Ruangan putih hampa.

Tanpa batas, tanpa jarak, semuanya kosong, bahkan bayanganku tidak ada menemaniku sekarang. Bukankah tempat semacam ini ....

Hah.

Aku jadi mengingat kejadian terakhir.

Apakah berarti, aku sudah tiada?

Ini dimana?

Rasa perih kembali menusuk diriku. Mengingat aku pergi tak sadarkan diri bahkan sebelum mendapati mereka ... apa mereka baik-baik saja? Oh, archon. Ambil saja nyawaku. Tapi jangan mereka. Mereka masih muda, masih banyak jalan yang harus ditempuh.

Aku? Sedangkan aku hanyalah--

"Sudah bangun?"

Sarafku seketika membeku mendengar penuturan lembut seseorang. Otomatis, aku berbalik, dan terkejut setengah mati bak melihat hantu pertama kalinya.

Dia berkacamata. Dia tersenyum hangat padaku. Seorang pria paruh baya, memiliki beberapa keriput di wajah dan rambut coklatnya sudah setengah beruban. Pria itu memakai kemeja putih yang ditutupi sweater abu-abu, layaknya penampilan orang tua pada umumnya.

Aku langsung mengenali siapa dia--ralat, beliau karena warna matanya.

Merah muda.

"Bagaimana perasaanmu?"

Ingin sekali aku menjawab pertanyaannya: aku merasa terpukul. Kenyataan bahwa aku berada di tempat semacam ini, dan menemuinya di hadapan mata ... apakah aku benar-benar sudah--?

"Tenangkan dirimu. Aku hanya ingin mengajakmu mengobrol, nak."

Beliau membungkuk, lalu memposisikan dirinya untuk duduk sila di depanku. Aku pun ikutan memperbaiki posisiku, melipat kedua kaki ke belakang dan duduk bersimpuh. Tak pernah kusangka, aku akan menemuinya setelah peristiwa mengerikan itu.

Beliau sungguh sesuai yang dirumorkan mereka. Senyumnya sangatlah ramah, gerak-geriknya begitu sopan, terlebih-lebih beliau memancarkan aura positif yang istimewa.

"Mungkin pertama-tama, aku ingin meminta maaf atas tingkah laku anakku dan cucuku." Beliau setengah membungkuk dalam duduk, membuatku merasa tak nyaman. Bahkan beliau tetap menjaga adabnya di depan gadis yang jauh lebih muda darinya.

"Mereka sungguh keterlaluan. Yang satu termakan emosi, yang satunya lagi tidak mengenali perasaannya sendiri." Nada kecewa keluar dari bibir pria tua itu. Aku masih terdiam, menyimak sedikit keluhan beliau.

"Dan yang ketiga ... takut mengambil langkah berani. Yang keempat? Tidak tahu apa-apa dan tidak paham."

Sontak, aku sedikit terkejut pada kalimat terakhir. Entah mengapa, aku memahami seluruh maksudnya. Beliau pun kembali tersenyum, kilatan di mata tersimpan sebuah maksud yang tidak kumengerti.

[END] 𝐁𝐞𝐡𝐢𝐧𝐝 𝐓𝐇𝐄 𝐌𝐀𝐍𝐀𝐆𝐄𝐑 ┆✘ Second BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang