12 | Nyaman

9K 1.3K 147
                                    

Vote!

.

.

.

Di luar hujan, jarum jam juga masih menunjukan pukul sembilan malam, masih sore untuk malam minggu yang katanya panjang.

Mas Al nggak ngajak gue keluar, karena jelas ujan dan gue juga ngerasa energi diri kian berkurang kalau terus-terusan berpergian.

Orenjus? Dia sibuk lari di roda barunya yang mas Al beli lima belas ribuan di kios pakan hewan sebelah pom bensin depan. Nggak apa-apa, yang penting Orenjus bisa lagi lelarian.

Semantara Orenjus lelarian, kami baringan di atas ranjang dengan gue meringsak masuk ke pelukan Mas Al.

Udah gue bilang, bahasa cinta mas Al itu dengan sentuhan, bahkan sekarang dia usap-usap rambut gue pelan biar tidur nyaman.

Tapi nggak, gue masih belum ngantuk. Makin lekatin daun telinga dan pipi ke dada bidangnya, gue mau denger detak jantung, gue mau rasain kembang kempis dada di mana paru-parunya menarik oksigen.

Gue seorang penulis, bahasa cintanya adalah dengan memuja, tapi gue nggak bisa kalau itu langsung dilontarkan karena gue butuh perantara media tulis.

Gue ukir dada bidangnya pake jari telunjuk, pengin ngomong banyak hal, pengin muja dia setinggi dan segagah gunung-gunung yang ia taklukan. Gue mampu, gue bisa ... tapi nggak bisa kalau gue ngomong langsung ke dia.

Dalam diam gue kulum senyum, mungkin besok atau kapan-kapan gue bisa bikinin dia puisi. Klasik, mungkin juga dia nggak percaya penyair yang kalimatnya menyihir, tapi nggak apa-apa, nanti gue buat di web novel kalau gue udah balik aktif lagi di sana.

Untuk sekarang kayaknya gue gunakan bahasa cinta yang sama aja kaya Mas Al, menyentuh dan melayani. Itu nggak buruk, gue bisa, kok!

Mendongak natap Mas Al. "Mas," panggil gue.

"Dalem, Sayang?" Mas Al merunduk buat nyahut panggilan tanpa terputus belaian lembut tangannya di kepala ini.

"Nggak mau gantian?" tanya gue.

"Gantian ngapain?" Mas Al ngikis jarak jadiin hidung kami hampir nempel.

"Gantian Dega yang peluk Mas dan usap rambut Mas," Gue senyum D.

"Pfft," Mas Al nahan ketawa. "Nggak ... 'kan Dega uke-nya,"

Gue pasang muka datar meski masih mendongak natap dia. "Gue bukan uke,"

"Iyaa ... iya," Mas Al masih berusaha nahan ketawanya.

Gue beringsut keluar dari dekapan Mas Al dan naro kepala ke bantal. "Sini peluk!" Gue nepuk lengan bagian dalam buat Mas Al jadiin bantal.

"Yakin?" Mas Al yang setengah bangun itu tetep aja nahan ketawanya.

"Ck! Buru! Ngambek, loh!"

"Iyaa, Iyaa ...," Mas Al nurut naro kepalanya ke lengan gue dan dia meluk pinggang, makin majuin muka dan malah sengaja nempelin kumis tipisnya ke ceruk leher.

"Maas ...," rajuk gue, geli samar bisa-bisa bikin meremang.

Mas Al ketawa, dan dia kembali mundurin muka.

Gue belai lembut helaian rambutnya, semantara Mas Al makin eratin pelukan di pinggang.

"Ya udah Mas tidur," ucap gue.

Mas Al ngangguk dan pejamin mata, tapi tangannya jail masuk ke kaos dan sengaja usap-usap pinggang gue pake jemarinya. Nggak apa-apa, mungkin itu bahasa cintanya.

Dulu waktu masih virtual gue sama Mas Al juga selalu sleep call-an dan berpura-pura tidur pelukan dengan posisi kayak gini.

Terima kasih, Semesata! Angan kami jadi nyata.

ALFARIZKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang