10 | Cinta Datang Karena Seringnya Bertemu?

9.5K 1.3K 198
                                    

Vote!

.

.

.

Gue penulis, dan penulis adalah pengamat. Mas Al rupawan, dari rambut, tulang kening, hidung tinggi, mata indah, rahang tegas, bibir penuh pun lesung pipi. Gue bisa gambarkan nanti buat tokoh baru di buku selanjutnya, pasti tokoh itu akan mendapat banyak puja.

Gue penulis, dan penulis adalah pengamat. Bahasa cinta Mas Al adalah dengan menyentuh, dari dia meluk gue semalaman saat tidur, genggam tangan bahkan ketika kami cuma duduk nonton Orenjus ngupas kuaci, itu udah jelas mewakili. Ditambah dia suka ngusak puncak kepala, usap pipi, kecup kening dan kecup jemari.

Gue bahagia sebagai Dega yang selalu butuh hal lembut di hidupnya.

Bahkan tadi ketika kami makan siang bareng Ibuk, di depan ibuk dia nggak malu hapus setitik noda di sudut bibir gue karena kuah lodeh terong, lucu dia.

Dan sekarang gue bonceng motornya, pun dengan Mas Al ngemudi pake satu tangan, karena satu tangan yang lain mengangin tangan gue biat tetap meluk perutnya.

Kami mau ke alun-alun, katanya beli es krim yang beda nggak kaya eskirm di mini market, sekalian Mas Al ngajak gue latihan ngatasin phobia ini.

Oke! Gue siap, meski tadi di awal gue cukup kurang yakin, tapi gue percaya Mas Al bahakan jagain.

"Muter dulu tiga kali buat syarat biar Dega nggak kena sawan," kata Mas Al sambil senyum lewat kaca spion kiri yang sengaja di arahin ke gue.

Gue ngekekeh dan tumpuin kening ke pundaknya. Dia ini suka ada-ada aja.

"Terus nanti abis kita turun, muka Dega juga harus diusap tiga kali pake sari rumputnya,"

"Maas ...," rajuk gue.

Mas Al ketawa tanpa suara tapi bahunya getar.

Beneran kita muter tiga kali, nyampe tulisan 'witing tresno jalaran soko kulino,' bolak balik gue baca di sebuah baliho.

"Mas, witing tresno jalaran soko kulino itu artinya apa?" tanya gue dengan numpuin dagu ke pundak.

"Hadirnya cinta karena seringnya bertemu," jawab Mas Al.

"Kita nggak ketemu. kok, Dega jatuh cinta?" Gue kedip dua kali natap dia lewat spion. "Brarti itu bohong, dong?"

"Aish," Mas Al berdecak dengan mejamin matanya erat. "Gemes banget astaga," frustrasinya.

"Loh?"

"Mas gigit boleh?" Ibanya.

"Apa, sih? Dega bener, dong?" Lah emang bener kan? Gue sama Mas Al nggak ketemu, bahkan cinta gue tumbuh saat pertama kali liat komentarnya di buku.

"Iya, iya ... Mas ngalah, uke selalu benar,"

"Bukan uke anj," Gue pasang muka datar. Nggak suka aja dikatain uke. Kaya ... apa-apaan uke? Gue masih lanang dengan tubuh tegap, cuman jadi keliatan kalah aja kalau sebelahan sama Mas Al.

"Iyaa ... iyaa, bukan uke, tapi Dega-nya Mas Al,"

"Nah," Gue membenarkan yang ini.

"Seneng banget ya jadi Dega-nya Mas Al?" ejeknya pake muka ngeselin. "Nggak salah, sih! Mas Al emang tampan rupawan kaya kesatria Arjuna," Dia gosok dagunya ngaca di spion sambil mainin alisnya naik turun.

"Pengin nonjok Mas Al," rengek gue dengan lepas pelukan dan jauhin dada dari punggung lebar makhluk kelewat percaya diri ini.

Mas Al ketawa. "Iya ... iyaa ...," Dia tarik lagi tangan ini buat meluk perutnya. "Tapi bener, kan Mas Al ganteng?"

ALFARIZKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang