24 | Bawa Dega ke Daddy!

5.6K 797 67
                                    

Vote!

.

.

.

"Siap?" tanya Mas Al setelah kancingin pengait helem gue.

"Siap," Gue ngangguk satu kali dengan meluk boneka paus biru pemberian Mas Al dulu yang gue ikut bawa ke sini. Iya, gue cuma bawa si paus, nggak bawa Orenjus. Susah kata Mas Al kemaren pas mau berangkat liburan, jadi nyaranin bawa si paus aja. Meski cuma dibawa doang nggak diapa-apain. Nggak dipeluk soalnya aku meluk Mas Al kan?

"Ya udah, Blue taro dulu ke tas!" Mas Al ambil alih boneka paus di pelukan terus puter tubuh ini dan masukin Blue ke ransel yang gue gendong, diputer lagi gue dan kami kembali hadap-hadapan. "Dega peluk Mas Al aja," Mas Al tap-tap puncak helem yang gue pake. "Oke?"

Gue senyum dan ngangguk dua kali.

Mas Al naik ke motor gendutnya lalu gue juga naik ke jok belakang.

"Berangkat ...," kata Mas Al dan kami melaju.

Kami udah pamitan ke semua tadi sebelum pulang, ke om Aryo, Om Sandi dan tante Winda, pun juga Izzan sama Aris.

Meski ada drama dikit tadi sama Aris yang katanya nggak mau ditinggal gue, dia merasa jadi gagah katanya karena ada gue, agak lain dan agak sialan, tapi nggak apa-apa, gue suka temenan sama Aris, kok! Gue seneng punya temen manusia. Nggak cuma Orenjus doang sekarang temennya Prabu Arya Pandega. Keren itu artinya.

Ngomomg-ngomong soal Orenjus, gue kangen banget sama dia, sama kaki kecilnya, sama gigi panjangnya, sama bulu orens lembutnya, pokoknya sama semua tentang dia, dari cuci muka, lelarian di roda, nyembunyiin kacang di pipi dan meleleh pas tidur. kangen banget.

Pokoknya nanti nyampe rumah gue mau unyel-unyel. Oh! Sama beli kuaci kali buat oleh-oleh.

"Mas," panggil gue dengan meluk pinggang Mas Al. "Nanti kita ke pet shop yah? Beli kuaci buat Orenjus," Gue taro dagu ke pundaknya dan noleh ke muka. Gue minta ke pet shop soalnya kuaci mini market sama kuaci buat Orenjus itu beda.

"Iya, Sayang ...," Mas Al senyum, lalu gue makin eratin pelukan pun makin lekat memandang, ada yang menganjal, dan nggak tahu kenapa senyum itu bak luntur seketika, atmosfenya biru tiba-tiba, mas Al nampak sendu wajahnya.

Sekali lagi gue eratin pelukan lalu ikut liat ke depan, perasaanku jadi nggak karu-karuan.

Perjalanan pulang dari pantai selatan ke rumah kisaran satu jam setengah pake motor, dan sepanjang jalan itu Mas Al tetep diem. Gue yang pendiem ya jadi ikut diem, jadilah kami diem-dieman.

Selama perjalan Mas Al sesekali remas punggung tangan gue di perutnya lalu usap lembut pake jempol. Pun hampir di setiap lampu merah yang kami temui Mas Al pasti usap lutut gue terus genggam hangat lagi tangan ini.

"Sayang," panggil gue.

"Em?"

"Mas kenapa?"

Mas Al senyum, meski lesung pipinya nampak begitu cekung ke dalam tapi jelas matanya nggak ikut senyum di sana. Sorot itu pencarkan khawatir dan was-was yang jelas.

"Nggak apa-apa, Sayang," Mas Al usap punggung tangan gue di perut pake jempolnya lagi lembut.

Gue ngangguk coba nggak mau berpikir hal buruk. Lalu mas Al tambah laju kecepatan, gue makin eratin pelukan.

Hingga satu jam setengah terlewati sudah dengan gundah dan kami nyampe ke rumah, lalu pemandangan pertama adalah—

"Daddy?"—Mata gue melebar sempurna, Daddy berdiri gagah di sana dengan beberapa mobil berjejer di depan pelatarannya, sementara para tetangga barisan depan, kanan–kiri juga berkerumum nyorot gue sama Mas Al yang baru datang.

Oh, Semesta ... terjadi lagi, Dega jadi pusat dunia untuk kedua kali.

Gue blank! Gue benci ini saat nggak mampu mengendalikan diri, otak berhenti berfungsi, telapak tangan kebas dan keringat dingin merembas di kening.

Daddy dan satu ajudannya pake langkah lebar mendekat ke kami lalu gue yang blank ini direngkuh kedua pundaknya kanan kiri sama si ajudan tadi lalu dibawa masuk ke mobil dan pintu ditutup.

Gamblang tapi gamang, Dega dalam panic attack dan blank-nya liat gimana Daddy marah di sana, Ibuk Mas Al yang memohon dengan menangis membela anaknya, segalanya berjalan begitu cepat hingga tanpa sadar gue yang blank ini dibawa pergi begitu saja.

"Mas Al?" Gue sadar. Mengerjap beberapa kali hingga pelataran rumah itu semakin jauh di belakang sana. "MAS AL!!" raung gue panggil namanya dengan noleh kebelakang.

"Mas Prabu," tahan salah satu ajudan dengan megang kedua bahu gue untuk kembali menghadap ke depan.

"Mas Al ...," tangis gue pecah dengan bahu bergetar.

"Mas ... Mas Prabu," ajudan tadi mencoba menenangkan gue yang makin meronta.

"Dega mau mas Aaal," Gue kejer sejadi-jadinya. Salah gue, salah keadaan otak dan kemampuan mental gue yang nggak bisa mencerna segala sesuatu yang serba mendadak dan cepat. "Degaa mau mas Al ...," Ngilu banget dada gue. "Kenapa begini, Pak?" tanya gue dengan meraung.

"Ibnu Dimas Alfarizky dilaporkan melakuan penculikan terhadap Mas Prabu," jawab si ajudan. "Setelah ini dia berhak mendapat sangsi penjara atas perbuatannya itu,"

Lag! Jantung gue nggak lagi berdetak. "Ma-mas Al dipenjara?"

Satu anggukan kecil dari si ajudan bawa gue melesat jauh ke dasar neraka. Semesta, semua salah Dega.

Gue yang terlalu lambat mencerna nggak bisa membela apa-apa di sana. "Tapi Dega yang nyamperin mas Al, Pak," ratap gue. "Bawa Dega ke Daddy sekarang, Dega mau ngomong kebenaran,"

"Tapi kami ditugaskan bawa Mas Prabu pulang,"

"Tapi Dega mau menyampaikan kebenaran," ratap gue menangis.

"Mas Prabu," tahan si Ajudan coba menenangkan.

"Tapi Dega mau ngomong kebenaran ke Daddy! Bawa Dega ke Daddy ... bawa Dega ke Daddy!" tangis gue menjadi.

"Mas Pra-"

"BAWA DEGA KE DADDY SEKARANG!!" raung gue frusrasi. Gue mau membela Mas Al apa pun yang terjadi, meski mustahil tapi berharap kenyataan dan kebenaran yang gue suarakan bisa beresonansi nanti. "Bawa Dega ke Daddy ...," Bergetar hebat tubuh ini hingga tangis menjadi gue berubah hilang tanpa suara. "Bawa Dega ke Daddy ...,"

Tbc ...

Sakit? Lumayan ... pokoknya ya bomp bomp bomp nih ati :)

Sehat hari ini?

Sabtu, 7 Januari 2023

ALFARIZKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang