27 | Koma

6.3K 915 113
                                    

Vote!

.

.

.

Waktu berjalan begitu lambat, rindu gue ke mas Al makin mencekat. Gue nggak bisa apa-apa lagi kecuali mencoba menikmati rindu yang kian membunuh dengan menikam uluh hati.

Sekarang gue berada di bawah Matahari sore oranye di tengah hamparan rerumputan, coba menari dengan merentangkan tangan kemudian berputar dan menengadah tanpa bayangan apa pun di sisi timur.

Sekali lagi gue coba nikmati, nggak ada perpisahan, karena Mas Al ada dalam kenangan indah.

Berhenti dengan tetap menengadah dan pejamin mata, gue inget ketika kami sering berbaring bersebelahan dan berhadap-hadapan, kami berbagi cerita dengan gue bermanja ke dia.

Nggak ada akhir menyedihkan, gue masih bisa nemuin Mas Al dalam kenangan indah ini selamanya.

Yah, gue berdiri di bawah cahaya Matahari sore oranye yang beku, hingga setetes hujan jatuh menyentuh pucuk hidung. Gue yang masih mendongak dan tutup mata coba pelan buka, dan ternyata langit basah abu-abu yang keliatan berat datang menggantikan salem dan jingga di atas sana.

Senyum dengan tarik napas, gue mau coba baik-baik aja dan terbiasa, meski sejujurnya gue benar berantakan. Nggak apa-apa ... Prabu Arya Pandega juga manusia yang tertawa, menangis, bahagia, sedih, sakit pun kehilangan dan menumbuhkan rindu yang mendalam.

Hujan lebat benar turun dan gue tetap di bawahnya. Mengguyur tubuh dan menjadi basah. Nggak apa-apa, kilas balik Prabu Arya Pandega ini pernah dicintai oleh para readers-nya, dan dari sana Prabu Arya Pandega menemukan salah satu yang kemudian menjadi nyata bentuk cintanya. Dia ALFARIZKY, Ibnu Dimas Alfarizky. Dan dengan kilas balik pun perasaan-perasaan sederhana itu gue pernah hidup dan bernapas meski dari hal-hal kecil.

Hujan kian melebat, baju gue kian basah hingga tembus dan kini dingin menyelimuti. Sekali lagi gue senyum menikmati ini lalu pejamin mata. "Mas Al," panggil gue lembut dengan nada renyah agar dia tahu Dega-nya udah mau coba bisa dan menerima kenyataan. "Dega kangen ...," Lalu senyum lagi dan coba tarik napas yang sebenranya begitu berat dengan gondok di kerongkongan.

Gue udah coba mulai menerima dan coba baik-baik aja dengan iklas. Dada dan otak gue sakit banget dari beberapa hari terakhir ini, dan itu nggak berujung sampai gue kadang masuk ke imajinasi.

Meski sejujurnya gue masih pengin ketemu Mas Al. Pun kalau seandainga gue punya kesempatan sekali lagi, gue pengin banget lihat ke dalam matanya dan bilang, "Mas Al, Dega kangen,"

Ketawa sumbang dengan bahu bergetar, kelopak mata yang gue tutup ini terasa panas hingga tanpa disadari air mata mengalir bercampur air langit di pipi.

Dalam memori meriah ini, gue rentangin tangan lagi dan coba menari sendirian dengan berputar menikmati hujan.

"Dega!"

Suaranya menyerempet telinga.

"Dega! Sayang!"

Jelas itu suara mas Al yang redam dalam air hujan.

Gue buka mata, hujan lebat dan kabut sirna. Mas Al di ujung sana berdiri rentangin tangan. "Mas Al?!" Gue lari ke arahnya dengan kaki telanjang yang basah, menciptakan cipratan air bekas hujan di rerumputan.

Gue coba berhambur ke arahnya untuk memeluk lalu—

"ITU BUKAN CINTA!" —suara Daddy masuk ke indra. Dan bayangan mas Al hilang begitu saja.

Gue jautuh berlutut detik itu juga.

Sakit!

Ngilu!

Dan sesak sekali ini dada.

"Dega koma, Maas ... pikirkan kesehatan anak kita, Kita butuh Ibnu Dimas Alfarizky, Mas ... tolong," suara Mommy terdengar kian mengisak.

"Dia hanya sakit, bukan butuh pemuda itu,"

Langit berubah menjadi gelap malam, Bulan kesepian bertengger di atas sana dengan gue yang masih bersimpuh di atas rumput basah bekas hujan ini. Basah bekas hujan yang kian menjadi genangan merah darah.

Hamparan rerumputan di balakang gue berubah menjadi bekas medan perang, mayat bergelimpangan, bekas tusukan tombak dan hujan anak panah yang yang menancap di mana-mana, kobaran api, rintihan suara kuda sekarat dan raung tangis rasa sakit.

Sakit banget. Tanpa kendali bahu gue getar, gue nangis sejadi-jadinya. Merongrong pilu memeluk diri sendiri yang basah kuyup ini dan makin merunduk. Dada gue sakit banget demi apa pun, gue terluka dan porak poranda bagai hamparan luas rerumputan di belakang punggung ini.

Bohong memang kalau gue bilang nggak apa-apa dan coba merelakan lalu mencoba lepas dan iklas.

Gue jatuh cinta, ini cinta, apa yang gue rasakan itu cinta.

Mengerang sakit lalu memukul dada sendiri. Rongrong pilu dengan tangis kian pecah. "Tolong Dega sakit banget," raung gue kasih tahu dunia. "Dega jatuh cinta, Daddy ...," Bahu ini makin getar dan sekali lagi gue pukul dada ini. "Ini cinta Daddy ...," isak gue melirih mulai tak terdengar saking sakitnya.

Ini cinta, tolong siapa pun kasih tahu Daddy ini cinta, ini sakit banget. Cinta itu banyak bentuknya, jadi apa yang salah? Prabu Arya Pandega jatuh cinta ke Ibnu Dimas Alfarizky, ini perasaan yang sama. Sama dengan perasaan-perasaan yang dirasahan antara gadis dengan laki-laki. Ini sama ... ini cinta.

Membungkuk lalu meremas rerumputan basah darah ini, gue kembali meraung. "Tolong ... Dega sakit banget ...!" Tersengguk. "Dega sakit bangeeet ... tolong,"

Tbc ...

Udah ikut sakit?

Pengin peluk Dega nggak?

Em, sorry sedikt, mood sedikit naik liat komen kalian di wall yang pada bilang suka tulisan gue.

Gue sayang kalean, Readers! Ini yang penting udah coba bangkit dari witer blok kan ygy? Oke?

Tolong tetap sehat dan bahagia.

Rabu, 25 Januari 2023

ALFARIZKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang