Kita Benar-benar Selesai

39 17 5
                                    

[UPDATE SETIAP HARI RABU DAN SABTU]

"Kak Galang nggak pulang aja? Udah malem, nih," usul Feby seraya menoleh ke arah jam dinding di sudut ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kak Galang nggak pulang aja? Udah malem, nih," usul Feby seraya menoleh ke arah jam dinding di sudut ruangan. Ia mengernyit heran, benaknya seketika memutar memori ke beberapa waktu lalu.

Tidak, sekarang sudah jam 9.15 malam. Juga selama 15 menit ini Feby dan Galang hanya berdiam diri menikmati ketenangan setelah menemui guraun. Bahkan tak ada satupun nan beranjak dari kursi makan, entah apa yang mereka tunggu padahal ketiga piring di atas meja tinggal menyisakan sedikit bumbu mie instant. Ava sudah terlebih dahulu memetik bunga tidur, yah, pada akhirnya suasana canggung dengan senang hati menengahi keheningan di antara mereka.

Galang yang benar-benar menunggu dimulainya perbincangan itu seketika menoleh ke arah sang lawan bicara. Ini dia, laki-laki ini sama sekali tak berani berucap sepatah kata saja, karena kembali lagi kepada permasalahan awal antara ia dengan Feby ... yang terlalu kompleks. Jemarinya berhenti memutar sendok di atas piring, kemudian membalas bersama sedikit senyuman miring, "Kenapa? Bukannya ini waktunya buat dengerin satu sama lain?"

Tepat sekali, Feby sudah menduga kalimat itu akan terucapkan dari mulut Galang. Fokusnya terpaksa teralihkan menghampiri mata indah laki-laki tersebut, akan tetapi suasana hati Feby sudah bercampur aduk dengan kejenuhan pembahasan ini. Kernyitan bingung beralih menjadi tatapan datar. Ia tak pernah mengerti kenapa orang-orang suka sekali mengungkit hal yang menghadirkan suasana keruh.

"Misalnya?" tanya Feby.

Sepasang pundak Galang terangkat, membiarkan benaknya memutar otak sejenak. "Lo nggak pernah kasih kesempatan gue buat jelasin apa yang salah, Feb, mungkin sekarang waktunya dengerin gue?"

"Gue bener-bener nggak paham sama lo, apa lagi, sih, yang mau dibahas? Kadang gue sampe kasihan ngelihat lo terus-terusan muter gini," cetus Feby tak acuh. "Lagian percuma aja kalau gue udah tahu semuanya."

Bola mata Galang sejenak berputar jengah lalu kembali mengunci pandangan gadis itu. Kedua tangannya terlipat di depan dada seraya menegaskan rahang. Helaan napas berat terdengar. Tak ada lagi senyuman, karena yang ia tahu adalah sekarang Feby tidak sedang berkata jujur bahkan pada diri sendiri.

"Itu bukan sikap orang yang udah tahu semuanya. Lo cuman nggak pengen tahu karena nggak mau lebih sakit hati ... iya, kan?" tegas Galang. Ia percaya dengan asumsinya kali ini.

Tawa licik memercik di bibir Feby. Konyol, padahal ia sudah berusaha keras menyembunyikan kenyataan itu. Ah, hampir saja lupa jika di banyak situasi yang menguntungkan Galang memang suka berterus terang. "Kalo lo bilang gitu, itu berarti semua hal yang lo jelasin bakal buat hati gue sakit. Karena nggak semuanya harus dicari tahu. Cuman lo yang puas tapi gue harus menderita kayak orang bego."

"Gue nggak mau jadi kayak gitu." Feby menundukkan pandangan kesal. "Dan daripada lo kasih alesan, mending gue denger keputusan yang bisa buat gue lega."

Rumors and Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang