Bukan Hanya Teman, Tapi Tidak Lebih

27 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ritme tepat dari ketukan instrumen piano menghasilkan harmoni yang halus. Kesepuluh jari Vigo mengalun pada tuts putih dan hitam secara bergantian, menonjolkan teknik Legato yang ringan juga lembut. Kelopak mata si tampan itu sesekali tertutup dengan lambat sambil sedikit mengernyit, meresapi sekaligus mengoreksi setiap nada romantis yang tersisa dalam ingatan, bahkan sustain pedal di kaki kirinya beberapa kali ditekan untuk menghasilkan irama panjang. Tiap alunan membuat detak jantungnya menderu bagai meniup api dalam tungku, membayangkan tengah menyentuh sapuan ombak di antara kerumunan pantai. Wangi musim dingin seperti melanglang di sekitarnya, menyertakan sepucuk perasaan pilu yang berisik dan menyakiti dada.

Kondisi studio musik sekolah tidak seperti biasanya. Tembok kaca yang selalu tertutupi kelambu abu-abu kini dibuka lebar, memaparkan lanskap lapangan terbuka hingga ke jalan raya. Sorot mentari sore menembus kaca, membuat pandangan Vigo sedikit menyipit. Sekarang hanya ada sebuah piano di atas panggung kecil menghadap tembok kaca itu, yah, bukankah suasana ini terdengar sempurna? Meski tidak lebih baik daripada tiga tahun lalu, seorang yang berbakat tetap bisa menemukan jalan untuk kembali pada tempatnya.

Tempo nada terakhir baru saja tersampaikan, sepasang tangan besar itu melamban sampai berhenti pada tuts terakhir yang menandakan pertunjukan klasiknya telah rampung. Ia membuka mata perlahan seraya membuang napas dalam, lalu menjauhkan jemarinya dari keyboard. Sesuatu apapun yang berhubungan dengan nada dan instrumen selalu berhasil membuat Vigo puas, bisa dibilang, ini seperti seorang petinju yang suka melampiaskan amarah dengan memukul lawan.

"Claude Debussy? Waktu cuacanya lagi panas gini?" Tiba-tiba saja, tanpa diketahui darimana dan kapan datangnya, seorang Feby baru saja melongok di sisi kanan Vigo sambil memerhatikan barisan putih dan hitam pada piano itu. Gadis ini tak perlu menebak terlalu lama, karena nada romantis tersebut juga menjadi favoritnya jika berhubungan dengan piano.

Sedangkan Vigo yang sama sekali tidak mengira akan ada seseorang di sampingnya spontan menoleh dengan ekspresi terkejut. Pupilnya membulat lebar ketika menyadari bahwa jarak mereka sama sekali tak bisa ditoleran--ia jadi teringat tentang pelukan di rumah Feby. Karena tidak ingin membuka insiden baru, dengan impulsif kedua tangan Vigo mendorong lengan kecil Feby, benar-benar keras sampai terdengar teriakan kesal dari mulut gadis itu. Secara tidak sengaja tubuh laki-laki itu terbangun mundur, menjauhi wajah cantik yang seharian ini tak ingin ia lihat. Oh, bagus sekali, dirinya terpatung tak berkedip, bahkan untuk menelan ludah saja rasanya terlampau sulit. Setidaknya ... kenapa momen ketenangan ini harus disaksikan langsung oleh Feby? Ia sungguh tidak apa-apa jika orang lain saja.

Beruntung kedua kaki Feby lekas menahan tubuhnya yang hampir terjatuh ke depan. Wah, dada gadis itu berdegup ketakutan berkat reaksi kurang ajar Vigo yang terkesan disengaja. Dengan membawa segunung kobaran amarah di matanya, ia menoleh ke belakang menemui wajah polos laki-laki tersebut sambil meracau, "Lo sedendam itu sama gue? Hati gue baru aja hancur karena dihempasin gini, dasar jahat."

Rumors and Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang