Setelah menemui perdebatan dengan Feby, pada akhirnya Vigo memutuskan untuk menurunkan egonya, ah, wanita selalu memiliki cara agar memenangkan argumen. Lagipula memang kurang tepat jika memaksakan diri dalam keadaan ini, yang ada malah pening semakin menjalar sebelum sampai rumah. Laki-laki itu duduk di atas sofa panjang, tetapi, dirinya sedang tidak sendirian sekarang. Dengan suasana canggung serta keasingan nan berkerumun, setelah selesai menaruh kotak P3K di atas meja, Ava duduk di samping Vigo sembari terus mengamati lawan bicaranya bersama sedikit kernyitan heran.
"Kak Vigo temen barunya kakak?" tanya Ava dengan nada polosnya.
Vigo segera mengangguk pasti, mulutnya membentuk senyuman kaku selagi sepasang tangan laki-laki itu saling bertaut memainkan ibu jari. Oh, ayolah, ia masih belum menemukan cara untuk bersikap santai di depan seorang anak kecil.
Tentu saja, yang menjadi perhatian Ava semenjak melihat Vigo hanya pada darah di kening itu. Bersama rasa penasarannya ia pun memberanikan diri bertanya, "Kak Vigo abis main, ya? Kok, berdarah?"
"Ha? Oh, ini ...." Vigo sedikit tertegun, tetapi, ia langsung mengubah haluan ke atas seakan menunjuk kening. Ah, pantas saja tilikan Ava membuatnya kurang nyaman, ternyata luka ini cukup menjadi pusat perhatian. Sejenak mulut laki-laki itu terbungkam karena tak menemukan kalimat tepat untuk menjelaskan, tapi mau bagaimana lagi jika yang terheran adalah Ava. Ia lagi-lagi mengangguk saat tatapannya kembali ke depan, kemudian membalas, "I-iya, Kak Vigo jatuh."
Namun, reaksi Ava kali ini cukup membuat Vigo semakin terkejut. Bocah kecil itu justru mengerucutkan bibir setelah mendengar jawaban tersebut, helaan napas terhembuskan, bahkan ia sampai menunduk seakan menahan sesuatu yang berat dalam benak. Ava sekadar terdiam selama sekian detik, meski begitu mata lebar tersebut terlihat bergetar selepas mendapatkan kembali memori buruknya. Kejadian menyakitkan yang masih terekam jelas. Anak semungil ini ... memang apa yang dia pikirkan?
"Ava juga pernah jatuh di sekolah sampai gigi Ava copot, di mulut keluar banyak darah sampai Ava disuruh kumur terus sama bu guru," ungkap Ava, intonasi bicaranya terdengar bergetar resah. "Tapi waktu Ava tunjukin ke kakak ... kakak malah nangis."
"Pasti sakit, ya?" imbuh Vigo menunjukkan guratan ringisan berkat merasakan betapa menyakitkan penderitaan Ava di saat itu.
Ava mengangguk pelan, berusaha mati-matian agar tidak memikirkan detik menyebalkan itu. Sial, air mata mulai memupuk kala kembali membayangkan kesakitannya, yah, tetap anggap dirinya sebagai bocah cengeng ketika sedang terluka saat bermain. Untuk mengalihkan setiap kekhawatiran, ia pun menoleh pada Vigo sembari berucap, "Kata kakak, kakak harus jaga temennya kalau terluka, dan kakak bisa sedih kalau nggak berhasil. Kak Feby selalu nangis waktu lihat Ava sakit, karena Ava juga temennya kakak."
Vigo menggigit kedua sisi bibirnya akibat tercengang. Sepasang sorot mata itu seketika beralih menjadi sepercik binar sendu. Ia tak seharusnya meremehkan, karena setiap masalah bisa datang tanpa memandang bulu. Demikian, Ava berani mengorek luka kecilnya karena memandang Vigo sebagai teman baik Feby, yang secara tidak langsung menitikkan harapan pada laki-laki itu. Namun, wajar jika seseorang menangis karena saudaranya terluka, sedangkan Vigo bukan termasuk dalam kategori tersebut. Sudahlah, ia sendiri sama sekali tak yakin jika Feby sampai bersedih hanya karena dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumors and Me?
Novela JuvenilJatuh cinta, dua suku kata yang sama sekali tak ingin Feby rasakan keberadaannya. Jatuh cinta itu rumit dan hanya membuang-buang waktu. Harus memerhatikan orang lain sekaligus dirinya sendiri akan sangat merepotkan. Lagipula ia sudah kapok dengan hu...