[UPDATE SETIAP HARI RABU DAN SABTU]
Minggu pagi, di rumah Elang.
Seperti sudah menjadi kegiatan disetiap hari minggu, Vigo bermain ke rumah Elang dari pagi sampai menjelang malam. Di dalam kamar berukuran sedang, bernuansa retro dengan beberapa poster band yang dipajang, dan walau masih pagi sang pemilik kamar tak berniat membuka tirai jendela. Jadi, hanya terdapat satu pencahayaan yaitu TV besar yang menampilkan permainan dari Play Station di depan mereka. Bermain game termasuk kebiasaan bagi setiap anak muda, yah, termasuk Vigo dan Elang saat ini. Duduk bersandingan di atas bean bag. Stik Play Station sudah berada digenggaman, netra mereka fokus hanya pada layar TV, juga ekspresi serius yang tak mungkin seorangpun berani bubarkan.
'Game Over!'
"Ayo ... ayo ... ayo! Ah! Mati lagi!" ruah Elang frustrasi. Stick PS-nya sengaja dibanting ke atas bean bag lalu bersumpah serapah. Bagaimana tidak, ia saja sudah lima kali ini kalah melawan Vigo yang padahal tidak terlihat bermain dengan sepenuh tenaga. Ah, kepalanya sudah pening hanya memikirkan ini. "Ini game-nya pasti eror, nih! Di yang lain gue pasti menang, tapi di sini nggak pernah dapet skor! Gue nggak sudi mainin ini lagi!"
Wajah semringah Vigo terlukis dengan jelas, kini berganti menyerangai setelah mendapati tingkah kesal teman mainnya. Ia memukul pelan lengan atas Elang seraya berucap, "Mau lagi, nggak, nih?"
"Kagak, ah, udah males," tampik Elang alih-alih untuk menutupi rasa malu atas kekalahannya.
"Ya udah, gue main sendiri, ya? Entar skor-nya gue yang ambil semua, loh," goda Vigo, hahah, siapapun juga tahu kalah memang bukan apa-apa, tetapi tak mungkin ada yang mau memilih untuk kalah, bukan? Lucu saja setiap kali melihat reaksi kekanak-kanakan Elang, pasalnya momen seperti ini jarang sekali terlihat apalagi saat bersama semua temannya. Memang konyol, tetapi dengan game saja barulah orang tahu bagaimana sifat tersembunyi dari sosok Elang.
Tak tergoyahkan, tubuh Elang mendekat ke arah Vigo bersama ekspresi mengejek. Kemudian melipat tangan di depan dada dan akhirnya membalas, "Bo ... do."
"Oke ... oke." Vigo tertawa kecil. Ia memundurkan kepalanya lalu perlahan mengembalikan pandangan ke arah layar TV, melanjutkan hobi satu minggu sekali ini dengan suasana hati yang baik. Entah butuh berapa lama untuknya berhenti bermain, akan tetapi waktu terus berlalu dan tak mungkin Vigo hanya berdiam di depan layar seperti saat ini.
Sementara Elang beralih dengan handphone dan social media di tangannya. Tentu saja karena ia sudah tak mau tahu lagi soal kalah atau menang.
Vigo perlu memikirkan hal lain untuk dibicarakan. Yah, sebenarnya semenjak laki-laki itu menapaki lantai rumah Elang, ia sudah memantapkan niat agar bisa bertanya tentang satu topik. Sesuatu yang membuatnya resah dan insomnia dalam beberapa hari. Namun, entah mengapa pula keraguan dan sedikit gengsi pun justru bercampur memundurkan niat itu. Mungkin, sebab ini adalah pertama kali Vigo hendak angkat bicara tentang hal yang asing baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumors and Me?
Ficção AdolescenteJatuh cinta, dua suku kata yang sama sekali tak ingin Feby rasakan keberadaannya. Jatuh cinta itu rumit dan hanya membuang-buang waktu. Harus memerhatikan orang lain sekaligus dirinya sendiri akan sangat merepotkan. Lagipula ia sudah kapok dengan hu...