Rinai hujan nan selama sepuluh menit ini menyebar lamban di jalanan akhirnya membentuk tetesan lebat, membasahi tanah, tumbuhan, genangan, dan atap setiap rumah yang Feby lewati. Seperti hari biasa, langit sudah gelap serta lingkungan di sekitarnya terlampau senyap berkat cuaca dingin di luar sini. Hampir semua rumah ia dapati gelap gulita di dalamnya, hanya satu lampu menerangi pelataran. Terdengar gemercik hujan dan gemuruh petir yang memekak, angin berhembus berlawanan arah hingga melayangkan beberapa dedaunan di atas jalan, genangan air pun meluap sampai mengalir menyentuh sepatu hitam Feby.
Gadis itu meminjam payung milik supermarket demi mempersiapkan diri menyambut hujan, payung berukuran sedang dengan warna navy polos tersebut dibukanya segera sebelum air membasahi seragam. Feby berjalan cepat melawan angin kencang dan tirai hujan lebat. Dengan keadaan hati terlampau histeria, angan tersesaki kericuhan, dan tubuh capainya ... masih terdapat sebongkah perihal yang ia bawa sedari pagi. Terlepas dengan malam yang selalu terulang, ada satu hal nan tak dapat terlepas dari benak Feby, bagai berkerak di dalam sana.
Penguntit itu, terpampang siapa dibaliknya, apa alasan dan tujuan dia berbuat demikian. Percakapan sore tadi pun terasa begitu mendebarkan sebab sugesti buruknya menjadi fakta yang menyakitkan. Tak lain adalah cinta bertepuk sebelah tangan nan terpendam, hingga tersirat setitik dendam dalam kilauan netra laki-laki itu.
Dalam kericuhan guntur, suara gesekan antara kaleng dan jalanan terdengar, tetapi, anehnya nada pekik kaleng itu seolah dengan sengaja dijatuhkan.
Feby menarik napas dalam sembari terpejam rapat, lalu menghembuskannya perlahan, mencoba menghentikan ketakutan tanpa sebab yang menyesaki dada. Entah paranoid apa lagi, tetapi, sejak keluar dari area toko ia merasa tak berjalan sendirian bahkan seperti sedang diawasi oleh sesuatu. Dan lagi, terdengar suara kaleng menggelinding yang familiar di memorinya. Ah, Feby ingat, perasaan waswas berkepanjangan ini pernah ia dapati di minggu lalu. Langkah cepatnya terhenti begitu saja, sorot mata coklat tersebut menanap kaku, dalam sekejap dada gadis itu berdebar histeris ketika menyadari rasa cemas tersebut pada akhirnya terulang.
"Nggak mungkin ..." gumam Feby dengan intonasi lamban. Tangan kiri gadis itu mengepal keras sebelum bergerak gemetar, giginya bergemertak panik menuntun suasana hati. Ia tetap mencoba tak meyakini haluan apapun. Di bawah payung yang terbasahi derai hujan, Feby memberanikan diri memutar tubuh untuk membela egonya yang mengatakan tidak ada apa-apa.
Namun, semua pembelaan itu tak satupun mencapai ekspektasinya, karena saat ini ... di bawah sorot lampu jalan terdapat satu orang berdiri jauh di belakang sana. Seorang laki-laki dengan payung hitam yang menutupi wajah, meskipun begitu postur tubuhnya jelas terlihat begitu akrab di mata Feby. Seragam sekolah yang selalu dikancingkan sampai kerah, tas kanvas coklat, sepatu pantofel, dan cara berdiri orang itu ... hanya milik Satya. Sejenak pula ia menangkap kaleng tersebut menggelinding dekat dari arah laki-laki itu. Segalanya seperti terencanakan walau terbalut hujan lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumors and Me?
Novela JuvenilJatuh cinta, dua suku kata yang sama sekali tak ingin Feby rasakan keberadaannya. Jatuh cinta itu rumit dan hanya membuang-buang waktu. Harus memerhatikan orang lain sekaligus dirinya sendiri akan sangat merepotkan. Lagipula ia sudah kapok dengan hu...