[UPDATE SETIAP HARI RABU DAN SABTU]
Hari senin itu ... seratus persen akan menjadi momok menyebalkan bagi mereka yang menetapkan minggu sebagai waktu hibernasinya. Tak usah terlalu jauh, karena representasi orang-orang semacam itu ada di dalam kelas Vigo. Pemberitahuan jam ke-empat sudah terlewat, kini tinggal menunggu bel istirahat berbunyi, sedangkan semua orang di dalam kelas serempak termenung lesu ke arah papan tulis sambil mendengarkan mulut burung Pak Guru. Setiap rumus dan kalimat seketika memberontak untuk dimengerti. Tertunduk mengantuk, menulis dengan lamban, menopang dagu bosan ... seolah tidak ada lagi hari esok untuk bersenang-senang.
Meskipun begitu, ada satu kondisi ganjil dimana Vigo merasa sedikit tak nyaman akan pemandangan ini. Tidak, bukan tentang seluruh teman kelasnya, melainkan pada ke-empat teman Vigo yang sedari pagi menunjukkan gerak-gerik aneh. Bahkan sampai saat ini mereka bisa sesekali mencuri pandang seolah sedang mencurigai sesuatu dalam diri laki-laki itu. Tubuhnya menjadi kaku karena itu, mendongak ke arah papan tulis saja serasa berat, menulis pun sampai gemetaran.
KRIING -- Feliz! Suara merdu bel istirahat yang dinantikan akhirnya terdengar. Semua orang berhamburan tidak sabar meninggalkan kelas. Terlihat dari jendela, banyak orang mulai ramai berlalu-lalang menuju kantin. Begitu pula dengan lima laki-laki itu, mereka serempak berdiri saling mendatangi satu sama lain.
"Ikut gue bentar, deh," perintah Adi, jika lupa, ia sudah menjadi teman sebangku Vigo selama tiga tahun. Kepalanya menoleh pada Vigo sembari memincing curiga. Tanpa banyak pertimbangan tangan laki-laki itu lekas mencengkeram lengan atas sang lawan bicara, kemudian berjalan menyeretnya keluar dari kelas.
"Ada apa, sih?" Vigo menurut saja, karena ia merasa perasaan buruknya segera terpenuhi dan tak ada alasan untuk mengelak alur cerita. Memangnya apa yang akan terjadi jika laki-laki itu tak menghentikan Adi? Apa yang terburuk dari ketidaktahuan?
Begitu pula dengan Elang, Hengki, dan Riyan yang ikut berjalan cepat mengekori langkah Adi. Mereka mengarungi pikiran masing-masing, menyiapkan ribuan pertanyaan dan sahutan untuk perdebatan sebentar lagi.
Tepat di depan tembok kelas, Adi dan Vigo menghentikan tapaknya tanpa memedulikan sorot kejam orang-orang yang berlalu. Yah, lagi-lagi soal rumor. Dua orang itu saling berhadapan bersama ekspresi yang bertentangan, Vigo memasang netra gelisah dan kernyitan bingungnya, sementara Adi melipat kedua tangan di depan dada meski terlihat begitu kesal. Dalam tiga detik silih memandang, masih tak ada yang membuka pembicaraan. Dan di saat itu pula terlintas dalam benak Vigo tentang pembahasannya bersama Elang kemarin.
Vigo tahu keputusannya untuk jatuh cinta adalah salah, tapi ini sudah diluar kendali. Elang bilang siapapun akan kalah walau harus menjauh, jadi ia yakin tidak ada gunanya untuk menolak. Tapi perasaan bukan sebagai ajang perlombaan yang harus diputuskan apakah harus berpartisipasi atau mundur.
Hingga akhirnya Adi menghela napas berat, rahangnya menegas kemudian berbicara, "Rencananya baru aja jalan, masa udah kegoda aja, sih?"
"Emang dari awal harusnya gue aja yang ngelakuin ini, Go," lanjut Adi. Ia menunduk geram mengutuk diri sendiri, kepalanya menggeleng lamban dan terus saja bercuit, "Gue jadi ngerasa lebih bersalah karena pasti lo nggak nyaman sama yang lo rasain sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumors and Me?
Fiksi RemajaJatuh cinta, dua suku kata yang sama sekali tak ingin Feby rasakan keberadaannya. Jatuh cinta itu rumit dan hanya membuang-buang waktu. Harus memerhatikan orang lain sekaligus dirinya sendiri akan sangat merepotkan. Lagipula ia sudah kapok dengan hu...