Bagian 17. Perempuan Penting

527 70 22
                                    

17. Perempuan Penting

Setengah jam perjalanan dari klinik medika raya ke kediaman Neodana terasa sangat cepat untuk Gilang, padahal mereka berdua sempat berhenti di emperan toko untuk berteduh sembari menunggu hujan reda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setengah jam perjalanan dari klinik medika raya ke kediaman Neodana terasa sangat cepat untuk Gilang, padahal mereka berdua sempat berhenti di emperan toko untuk berteduh sembari menunggu hujan reda. Keheningan canggung yang Gilang kira akan bertahan lama selepas dirinya melontarkan perkataan untuk Gita, langsung pecah saat Gita mengulas senyum tanpa banyak bicara.

Seolah keduanya sadar dengan perasaan aneh yang dirasakan masing-masing, namun urung mengungkapkan dan memutuskan untuk menikmati dalam diam. Gilang tidak tahu, sejak kapan keberadaan Gita menjadi salah satu hal penting dalam hidupnya, padahal sebulan terakhir dirinya begitu risih karena tingkah penguntit Gita yang makin menjadi-jadi.

Namun kini semuanya berubah, dan, Gilang tidak tahu karena apa. Gilang merasa Gita yang kini berada disampingnya bukanlah Gita yang membuatnya sebal setengah mati. Gadis itu seperti menjelma sosok lain yang asing untuk Gilang, namun menarik perhatiannya untuk selalu dekat.

“ Heh goblok! Lo punya mata kagak buat baca chat?”

Suara bernada geram langsung menerpa gendang telinga kala keduanya sampai ke pelataran rumah Gita. Kali itu hujan yang lumayan deras sudah mereda, hanya menyisakan rintik dan genangan air di cekungan jalan yang dalam. Damian mendekat dengan payung besar ditangan kanannya, wajahnya yang biasanya tengil dan menyebalkan, kini memerah dominan oleh emosi.

" Sori, Dam. Gue lupa ngga bawa jas hujan tadi.” Sahut Gilang, berusaha tenang.

Lelaki berambut halus itu menarik Gita yang sudah turun dari jok penumpang, mengalih payung yang besar itu agar dipegang Gita. Atensinya kembali beralih menatap tajam Gilang.

" Gue tahu niat lo baik, bro. Tapi lo mabok atau gimana njing?! Gue bahkan udah dengan sangat jelas ngasih tahu digrup kalau tikus got ini dijemput pake mobil aja. Terus kenapa lo ngide nekat begini? Nyari mati lo?”

Gita yang berdiri canggung mendapati abangnya yang jarang marah, ikut menimpali, “ Bang, gue yang pengen ikut Mas Gilang kok. Tadi Mas juga udah nyuruh aku sama Kak Karen aja tapi aku ngga mau.”

Mata Damian menyipit memandang adiknya.

“ Lo diem aja deh, ngga usah ikut campur. Jangan karena lo suka dia, lo bisa seenaknya boongin gue gitu Git.” Sungut Damian.

“ Ck! Siapa yang bohong sih? Gue serius, Bang. Lagipula lo lebay amat dah, ngga mungkin juga gue bakal sakit cuma karena kehujanan sekali doang.” sentak Gita dengan gigi bergemeletuk.

Suasana yang sudah malam ditambah cuaca selepas hujan membuat hawa dingin semakin terasa, dan tanpa sadar Gita menggigil saat hembusan angin mengenai badannya yang kuyup. Damian yang dilingkupi rasa kesal tak menyadari itu, sehingga kala Gilang reflek mendekat mengambil kedua tangan Gita untuk digenggam.

Mencoba membuat sedikit kehangatan dikala dirinya pun dalam keadaan basah. Damian langsung menepis keduanya sampai berjarak lebar.

“ Nyari kesempatan aja lo, tai!”

Perempuan dari Masa Depan | SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang