1. Jangan pergi

5.2K 988 232
                                    

“Skaya, jangan lupa sampai di sana jangan makan sembarangan, lebih baik masak sendiri di kost daripada beli makanan jadi. Kita gak bisa jamin makanan itu pengolahannya bersih atau tidak dan apa aja yang dimasukin ke masakannya.”

“Iya, Bunda. Skaya bakal jaga diri baik-baik di sana.”

Skara yang sedang menulis latihan soal dari tutor homeschooling-nya diam-diam mendengarkan pembicaraan Verana dan Skaya dari ruang tamu. Tanpa terasa ia menekan lembar bukunya terlalu kuat, hingga membuat tanda di sana. Bibirnya yang pink pucat mengulum, dengan sorot datar tak ramah.

“Skara, ada yang tidak dimengerti?” Suara tutornya membangunkan Skara dari pikirannya. Dia mendongak, menatap sang tutor yang mengamatinya lekat. Sepertinya tutornya melihat ia sedang tidak dalam konsentrasi sehingga bermaksud menegurnya.

Bibirnya sedikit terbuka, hendak mengutarakan pikirannya sebelum menggeleng. “Dada saya gak nyaman.”

Mimik wajah pria berusia 29 tahun itu sedikit berubah. Dia sudah diberitahu alasan mengapa muridnya melakukan homeschooling sehingga jika terjadi apa-apa, ia bisa lebih toleran dalam mengajarinya. Melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya, dia mengangguk pelan. Masih tersisa dua puluh menit sebelum kelas mereka selesai. “Latihan soal ini akan menjadi tugas untuk diperiksa besok. Karena kamu tidak nyaman, saya akhiri kelas lebih dini.”

Mengamati tutornya merapihkan buku-bukunya sebelum pergi dari rumahnya, Skara akhirnya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia memejamkan mata, berusaha mendengar percakapan antara Skaya dan Verana lebih serius.

“Besok Bunda bisa anterin Skaya ke bandara? Sekaliiiii ajaaa...” Nada memohon saudari kembarnya memasuki rungu Skara.

“Gak bisa, Skaya. Besok Skara ada jadwal check up,” jawab Verana.

“Kak Skara check up kan pagi, Bun. Aku berangkat ke bandara siang, kok. Boleh ya, Bunda?”

“Iya, iya. Bunda usahain dulu. Kalau kakakmu selesei cepet, Bunda sempetin anter kamu.”

“Yeyy! Sayang Bunda!”

Skara mencibir pelan. Dia melemparkan pulpen di tangannya sembari bangkit dari kursi belajarnya. Berjalan menuju ruang makan, dia melihat kembarannya keluar dari kamarnya dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya.

“Bun—eh, Kak Skara.” Skaya tersentak sejenak, sebelum senyumnya semakin merekah. Dia mengaitkan rambutnya ke belakang telinga sembari berputar memperlihatkan seragam barunya. “Gimana, Kak? Gue udah cocok jadi anak SMA, kan?”

Mata Skara terdiam pada seragam adiknya beberapa detik sebelum membuang muka. Hanya dengusan sinis yang menjawab pertanyaan Skaya. Skara duduk di kursi meja makan, menunggu makan siang. Tetapi matanya selalu tertuju pada Skaya yang kini berbalik kembali ke kamarnya.

Saat ini mereka sudah menginjakkan kaki di bangku SMA— tidak, bagi Skara hanya Skaya yang merasakannya. Sedangkan dia akan selalu tetap di tempat.

“Skara udah laper? Tunggu sebentar lagi, ya.” Verana yang baru keluar dari dapur meletakan dua piring berisi lauk pauk sebelum mengelus rambut Skara.

“Skaya jadi sekolah di sana?” Suara serak Skara terdengar datar.

“Sayang, kita sudah bahas ini kemarin. Terima gak terima, Bunda gak bisa halangi keputusan Skaya sekolah di Surabaya,” kata Verana lembut, menghela napas dalam hati melihat wajah cemberut putranya. “Bunda siapin makanan dulu.”

Skara tetap diam sampai Skaya kembali setelah melepaskan seragamnya. Gadis itu duduk di kursi hadapan Skara, menatap kembarannya ragu-ragu sebelum mengulurkan tangan mengambil apel dari ranjang buah. Tanpa mengupas kulit buah tersebut, dia menggigitnya penuh gembira.

SKARA : Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang